Kehidupan berbangsa dan bernegara
sejatinya menginginkan sebuah harmoni di dalamnya. Ia tak menginginkan
perpecahan, konflik dan perpecahan. Sebagaimana mestinya sebuah negara, seluruh
elemen yang ada di dalam negara haruslah bersinergi mewujudkan cita-cita negara
tersebut. Termasuk Indonesia, di setiap jengkal tanah di Indonesia haruslah
membawa semangat persatauan. Semangat persatuan tersebutlah yang kemudian
membawa bangsa kita maju kedepannya.
Semangat persatuan sudah ada sejak
zaman dahulu. Dari Sumpah Pemuda yang kemudian menyatukan pemuda di seluruh
tanah Air, hingga Proklamasi yang menjadi sebuah simbol dari persatuan bangsa
ini demi merdekanya sebuah negara. Tepat pada 17 Agustus 2018, bangsa kita
telah berusia 73 tahun. Sebuah usia yang cukup dewasa sebagai sebuah negara dan
menjadi sebuah simbol bahwa bangsa kita akan tetap ada.
Pasca Reformasi, euforia demokrasi
di Indonesia semakin meningkat. Partisipasi publik mau tidak mau harus diakui
meningkat. Walaupun masih banyak adanya diskriminasi dan lain sebagainya.
Kemudian masih ada juga kasus pelanggaran HAM yang masih belum tuntas. Itu
semua menjadi sebuah dinamika di negeri kita hari ini. Kemudian dinamika yang
sangat menjadi sorotan ialah dinamika pemilu serentak yang akan di adakan di
tahun 2019.
Pemilu
yang ada di tahun 2019 merupakan sistem pemilu baru yang diterapkan di negara
kita. Di tahun tersebut, pemilihan anggota legislatif berbarengan dengan
pemilihan presiden. Serta adanya ambang batas 20% yang menjadi persyaratan
capres dan cawapres. Mau tidak mau, partai politik berlomba-lomba mencari
koalisi yang paten untuk memuluskan jalannya. Dinamika terus berlanjut hingga
akhirnya bermunculan tagar atau hastag serta terjadinya polarisasi di antara
masyarakat. Polarisasi yang dimaksud ialah adanya pembagian kelompok di antara
masyarakat. Antara kelompok yang mendukung jokowi 2 periodedengan hastag
#Jokowi2Periode dan ada kelompok yang menginginkan presiden baru dengan
mengusung hastag #2019GantiPresiden.
Tidak hanya itu, Pemilu kali ini
berbarengan dengan pemilihan legislatif yang tertimpah infonya dengan pilpres. Tentunya pemilihan legislatif
ini jarang menjadi pembicaraan sehari-hari di masyarakat karena memang tertimpa
dengan informasi pilpres. Padahal, sebenarnya yang seharusnya menyerap aspirasi
rakyat pertama kali ya legislatif. Aspirasi kita diserap oleh DPR, kemudian
diproses oleh DPR.
Pasca Asian Games 2018, pertarungan
politik kembali mengarah ke permukaan. Setelah momentum Jokowi dan Prabowo
berpelukan bersama dengan pesilat Indonesia, aroma pertarungan pilpres pun
kembali tercium. Tentunya ini wajar
karena masa kampanye yang sebentar lagi akan dimulai. Namun, dibalik semua
dinamika tersebut yang sulit adalah menjaga akal sehat kita selama proses
pemilu tersebut berjalan.
Pilihan kita merupakan hak kita
masing-masing, tidak boleh ada yang mengatur, memaksa dan melarang pilihan
seseorang. Ini yang kemudian disebut sebagai sikap demokratis, dimana di
dalamnya terdapat toleransi yang kuat. Sebagai konsekuensinya,kemudian banyak
orang yang secara terang-terangan mendukung salah satu pasangan calon presiden
dan wakil presiden.
Permasalahannya adalah bahwa
kebebasan berpendapat tersebut kemudian tidak dibarengi dengan akal sehat yang
dijaga. Mengapa demikian? Dewasa ini banyak orang yang kemudian menyuarakan
suaranya, akan tetapi juga menyebar ujaran kebencian. Ini disebabkan karena
fanatisme atas sebuah kelompok pendukung yang ada. Fanatisme inilah yang
kemudian memunculkan adanya hoax, fitnah yang dimana bertujuan untuk
menjatuhkan lawan politiknya.
Akal yang sehat, tentunya dibarengi
dengan etika yang baik. Ketika akal yang kita pakai tidak sehat, maka etika
politik juga kita hilangkan. Bukan berarti tidak boleh bersuara, akan tetapi
bersuara tentunya harus dalam batasan-batasan yang ada. Tidak boleh memfitnah,
membuat hoax bahkan menyebarkannya. Ini demi
menjaga kesatuan bangsa kita yang kemudian dirawat oleh para pendahulu kita.
Masyarakat harus cerdas memilah
informasi yang ada, sehingga informasi yang isinya ujaran kebencian dan hoax
dapat diminimalisir. Kemudian, KPU sebagai penyelenggara pemilu juga harus
memberikan sosialisasi yang maksimal terhadap masyarakat ihwal pemilu. agar
pemilih kita semakin cerdas menghadapi pemilu. Sehingga masa depan bangsa kita
akan tetap terjaga hingga akhir nanti.
Kita pastinya menyadari bahwa
kesatuan dan persatuan itu penting, maka kesadaran inilah yang menjadi modal
awal agar kita tetap menjaga persatuan. Menjaga akal sehat kita selama pemilu
nanti menjadi sebuah awal dari niat kita menjaga kesatuan dan persatuan. Ketika
akal sehat kita tidak dipakai, maka sudah tentu kita akan terpecah. Jangan mau
terpecah hanya karena hastag, itu sebuah hal yang receh. Tetapi, kita harus tetap menjaga persatuan ditengah
perbedaan.