Selasa, 28 Juli 2020

Krisis: Momentum untuk Belajar

                Seluruh dunia tengah dihebohkan dengan adanya pandemic corona. Saya rasa tidak ada satu negara pun yang tidak waspada dengan adanya pandemic ini. Sejak awal tahun, seluruh dunia disibukkan menghadapi virus Covid-19 ini. Semua rencana yang sudah disusun pada awal tahun harus berubah menyesuaikan dengan keadaan saat ini.

                Tentu kita mengingat bagaimana optimism dunia menghadapi 2020 di awal tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, headline surat kabar (baik offline maupun online) dihebohkan dengan kabar ekonomi di tahun tersebut. Banyak optimisme serta harapan di awal tahun. Namun harapan tersebut tidak semua dapat terealisasi. Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk menambah focus yaitu isu Kesehatan.

                Dengan kondisi demikian, maka kita masuk pada kondisi krisis yang saat ini sedang melanda dunia. Baru-baru ini kita mendengar 2 negara maju yang mengalami resisi.  Singapura dan Kore Selatan, 2 negara yang saat ini sedang mengalami resesi. Tentu ini bukan kabar baik bagi Indonesia. Tapi kita berharap, ini tidak terjadi juga di Indonesia.

                Banyak orang menyebut fase ini sebagai fase “krisis”. Fase ini tentu bukan fase mudah untuk dilewati, tetapi optimism harus tetap dibangun bahkan Ketika dalam fase seperti ini. Krisis ini banyak dimaknai orang sebagai momen terpuruk. Ada juga yang menganggap ini sebagai challenge bagi dirinya. Tapi saya lebih memandang ini sebagai sebuah momentum untuk belajar. Mengapa demikian? Berikut penjelasannya~

                Pandemic ini bukan merupakan pandemic yang pertama kali terjadi di dunia. Tentu kita mengetahui sudah ada pandemic influenza di awal abad ke 20 atau yang lebih sering disebut dengan Flu Spanyol. Jadi, secara historis dunia sudah pernah mengalami hal ini pada masa lampau. Tentu kita tidak akan membandingkan kedua masa tersebut karena berbeda konteksnya. Tetapi yang harus dimaknai dari kedua tragedy pandemic itu ialah bahwa dunia belajar cara menanggulangi pandemic tersebut.

                Lalu mengapa sekarang pandemic ini terus meluas? Apa kita tidak belajar dari pandemic sebelumnya? Ini yang sering ditanyakan serta didiskusikan banyak orang. Komentar saya adalah, ini beda konteksnya sehingga tidak apple to apple untuk membandingkannya. Bisa jadi memang ada sisi dimana kita tidak belajar dari pandemic yang lalu, atau bisa jadi justru ini hasil terbaik kita belajar dari pandemic yang lalu.        

                Kembali lagi ke makna krisis, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya bagi saya krisis adalah momentum belajar. Fokus utama Ketika menghadapi krisis tentu saja keluar dari krisis itu. Akan tetapi, apa yang akan kita perbuat setelah krisis ini selesai? Apa tidak ada pelajaran yang tidak bisa diambil? Ini poin pentingnya!

                Ibarat pepatah sambal menyelam, buang air. Maka Ketika krisis, kita tetap focus keluar dari krisis ini sambil belajar. Tidak hanya sekadar menonton kebijakan dari pemerintah saja, tetapi sebagai seorang individu kita juga harus belajar. Banyak hal tentunya yang bisa dipelajari Ketika krisis ini. Tapi yang terpenting ialah mau belajar!

                Tentu saja banyak waktu luang yang bisa kita pakai untuk belajar. Karena mungkin saja beberapa dari kita tidak mau keluar rumah untuk menghindari penyebaran virus. Inilah waktu yang tepat untuk belajar! Lahap semua buku-buku yang ada, baca pengetahuan umum, baca kondisi, update berita dan lain sebagainya. Ini bermanfaat untuk bekal kita saat krisis sudah selesai!

                Saat krisis sudah selesai, maka kita dapat terbang cepat dibandingkan mereka yang rebahan saja Ketika krisis. Ada nilai lebih yang didapatkan Ketika belajar! Maka mindset krisis adalah momentum belajar itu adalah mindset yang tepat bagi para individu yang terkena dampak dari virus ini. Selama hidup kita ini belajar sejatinya. Maka Ketika krisis, belajar kita harus lebih keras lagi bukan?

                Okelah kalo beberapa dari pembaca malas baca buku, atau belajar secara rutin. Tapi pastikan waktu Anda tidak dibuang sia-sia! Masih banyak peluang di saat krisis ini!

#yukbelajar #hidupuntukbelajar #belajar #maribelajar   


Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Antara Adaptasi dan Kesenjangan Sosial

Kita sudah memasuki di akhir Juli dari tahun 2020. Tidak terasa, begitu cepat setengah tahun kita lalui. Cukup banyak yang terjadi di dunia. Semua dipaksa berubah dan beradaptasi dengan kehidupan baru. Tentu ini bukan akhir, tapi awal dari segalanya. Pandemic virus Covid-19 membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan dunia.

Dunia begitu cepat berubah dengan adanya pandemic ini. Dari yang tadinya santai-santai saja menanggapi virus ini, hingga pada ketakutan yang sangat luar biasa di masyarakat bahkan sampai menjadi santai lagi menanggapi virus ini.  Ini pola yang terjadi di Indonesia, PSBB sudah berulang kali diperpanjang. Namun, hasilnya tetap sama yaitu angka pasien positif Covid-19 tetap bertambah.

Semua dipaksa berubah mulai dari kehidupan pribadi hingga kehidupan berbangsa dan bernegara semua berubah. Kapan ini berakhir? Belum ada yang bisa memastikan! Tapi kita optimis ini akan segera berlalu dan dunia bisa Kembali tertawa.

Nah, basa basinya sudah kita langsung masuk ke inti pembahasannya. Tema yang saya ambil hari ini adalah Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ pada siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah. Loh? Emang kenapa? Ada masalah apa? Perasaan biasa aja deh!

Perasaan sih emang biasa aja, karena emang kita tidak mengetahui ada apa dibalik PJJ ini. Emang ada apa? Begini penjelasannya… asik~

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dunia dipaksa berubah dengan adanya pandemic covid 19 ini termasuk dunia Pendidikan. Biasanya siswa bangun pagi, berangkat ke sekolah ketemu temen belajar di kelas kini berubah menjadi pembelajaran jarak jauh. Iya jarak jauh, bukan hubungan ya tapi belajarnya.

Loh? Bukanya positifi ya? Kan bisa memanfaatkan teknologi yang ada.

Tentu ada positifnya, karena siswa bisa melek teknologi dengan adanya PJJ ini. Masalahnya bukan disitu, tetapi di akses terhadap teknologi itu. Apa sudah semua sekolah serta daerah tersentuh teknologi? Apa semua siswa memiliki smartphone untuk belajar? Apa semua siswa punya kuota untuk belajar? Nah loh pusing kan haha.

Jawabannya sederhana, tidak semua punya itu! Pake tanda seru biar dikata ngegas haha. Tapi serius deh, ga semua siswa punya itu. Sering-sering baca berita, bagaimana orang-orang pelosok yang kesulitan mendapatkan sinyal atau orang tua yang tidak memiliki uang untuk membeli smartphone. Itu aslinya PJJ kita saat ini!

Mungkin kita melihat di Jakarta jarang terjadi demikian. Ya karena ibukota, anggapan orang bisa jadi ibukota ini sudah siap untuk PJJ. Padahal ga siap-siap amat. Toh coba diukur saja efektifitas pembalajaran jarak jauh ini, lihat sejauh mana dampaknya bagi siswa hehe.

Back to teknologi tadi, miris rasanya bila melihat berita terkait dengan PJJ ini. Ada yang tidak punya kuota, ada yang tidak punya smartphone dan lain sebagainya. Meskipun tujuannya baik, akan tetapi pada pelaksanaannya ada yang harus dievaluasi. Kesenjangan social atau kesenjangan digital ini harus segera dibenahi. Isu ini baru muncul setelah PJJ diterapkan. Sebelumnya? Tidak banyak yang focus ke arah sini tentunya.

Pemerintah juga harus bertanggungjawab terhadap akses dari masing-masing siswa dalam PJJ ini. Tidak boleh lepas tangan begitu saja. Ini adalah dasar dari penerapan teknologi dalam pembelajaran jarak jauh. Tanpa adanya kesetaraan social serta kesetaraan digital, maka PJJ tidak akan efektif! Tentunya ini merupakan isu kompleks yang harus segera dibenahi. Sekali lagi saya tegaskan ini adalah isu kompleks, bukan isu sederhana yang bisa diselesaikan seperti membalikkan telapak tangan. Ada isu ekonomi juga disana, terlebih di dalam masa pandemic ini dan keadaan ekonomi yang tidak menentu, maka ini menjadi lebih parah lagi.

Sebuah Solusi

Sudah Panjang lebar bahasan di atas, kita langsung masuk aja ke solusinya. Ini solusi dari saya secara pribadi yaa. Solusi ini bisa saja diterima, atau bahkan ditolak oleh para pembaca. Mari kita berdiskusi soal ini.

Sebelum masuk ke kebijakan yang tepat, tentunya pemerinta mempunyai kajian ilmiah yang lengkap. Begitupun dengan ini, pemetaan social atas kepemilikan smartphone bahkan kuota itu menjadi penting terutama di beberapa wilayah dimana banyak siswa yang belum memiliki smartphone. Bayangkan, bila kita punya database pemetaan social, maka kita bisa langsung bisa mencari solusi atas permasalahan yang ada. Asik bukan?

Nah, kalo udah punya pemetaan social yang lengkap maka kebijakan yang diambil juga akan tepat. Memang saat ini kebijakan dana BOS bisa dipakai membeli kuota sudah ada dan ini harus dimaksimalkan. Lalu bagaimana bagi yang tidak punya smartphone? Apa harus ke sekolah sendirian? Seperti yang viral belakangan ini. Bila pemetaan social bisa se-detail itu, maka tidak perlu demikian.

Tentunya kita bisa mencari solusi atas masalah ini. Si A bisa saja dipinjamkan oleh sekolah atau Lembaga non profit atas masalah yang ada. Ini manfaatnya dari pemetaan social. Orang lain yang mau membantu juga bisa mengetahui dengan detail lokasi, serta kebutuhannya apa. Sehingga, dalam pelaksanaannya, antar elemen masyarakat saling mendukung. Ini sangat baik.

Demikian tulisan ini saya buat, semoga kedepannya bisa lebih baik lagi. Tulisan ini merupakan opini ya teman-teman. Bisa diterima bisa juga ditolak, tapi saya buka ruang diskusi bagi teman-teman bila memang ingin berdiskusi. Jangan lupa kopinya yaa gaess…