Kita sudah memasuki di akhir
Juli dari tahun 2020. Tidak terasa, begitu cepat setengah tahun kita lalui. Cukup
banyak yang terjadi di dunia. Semua dipaksa berubah dan beradaptasi dengan
kehidupan baru. Tentu ini bukan akhir, tapi awal dari segalanya. Pandemic virus
Covid-19 membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan dunia.
Dunia begitu cepat berubah
dengan adanya pandemic ini. Dari yang tadinya santai-santai saja menanggapi
virus ini, hingga pada ketakutan yang sangat luar biasa di masyarakat bahkan
sampai menjadi santai lagi menanggapi virus ini. Ini pola yang terjadi di Indonesia, PSBB sudah
berulang kali diperpanjang. Namun, hasilnya tetap sama yaitu angka pasien positif
Covid-19 tetap bertambah.
Semua dipaksa berubah mulai dari
kehidupan pribadi hingga kehidupan berbangsa dan bernegara semua berubah. Kapan
ini berakhir? Belum ada yang bisa memastikan! Tapi kita optimis ini akan segera
berlalu dan dunia bisa Kembali tertawa.
Nah, basa basinya sudah kita
langsung masuk ke inti pembahasannya. Tema yang saya ambil hari ini adalah
Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ pada siswa sekolah dasar hingga sekolah
menengah. Loh? Emang kenapa? Ada masalah apa? Perasaan biasa aja deh!
Perasaan sih emang biasa aja,
karena emang kita tidak mengetahui ada apa dibalik PJJ ini. Emang ada apa? Begini
penjelasannya… asik~
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, dunia dipaksa berubah dengan adanya pandemic covid 19 ini termasuk
dunia Pendidikan. Biasanya siswa bangun pagi, berangkat ke sekolah ketemu temen
belajar di kelas kini berubah menjadi pembelajaran jarak jauh. Iya jarak jauh,
bukan hubungan ya tapi belajarnya.
Loh? Bukanya positifi ya? Kan bisa
memanfaatkan teknologi yang ada.
Tentu ada
positifnya, karena siswa bisa melek teknologi dengan adanya PJJ ini. Masalahnya
bukan disitu, tetapi di akses terhadap teknologi itu. Apa sudah semua sekolah
serta daerah tersentuh teknologi? Apa semua siswa memiliki smartphone untuk
belajar? Apa semua siswa punya kuota untuk belajar? Nah loh pusing kan haha.
Jawabannya sederhana, tidak
semua punya itu! Pake tanda seru biar dikata ngegas haha. Tapi serius deh, ga
semua siswa punya itu. Sering-sering baca berita, bagaimana orang-orang pelosok
yang kesulitan mendapatkan sinyal atau orang tua yang tidak memiliki uang untuk
membeli smartphone. Itu aslinya PJJ kita saat ini!
Mungkin kita melihat di Jakarta jarang
terjadi demikian. Ya karena ibukota, anggapan orang bisa jadi ibukota ini sudah
siap untuk PJJ. Padahal ga siap-siap amat. Toh coba diukur saja efektifitas
pembalajaran jarak jauh ini, lihat sejauh mana dampaknya bagi siswa hehe.
Back to teknologi tadi, miris
rasanya bila melihat berita terkait dengan PJJ ini. Ada yang tidak punya kuota,
ada yang tidak punya smartphone dan lain sebagainya. Meskipun tujuannya baik,
akan tetapi pada pelaksanaannya ada yang harus dievaluasi. Kesenjangan social atau
kesenjangan digital ini harus segera dibenahi. Isu ini baru muncul setelah PJJ
diterapkan. Sebelumnya? Tidak banyak yang focus ke arah sini tentunya.
Pemerintah juga harus
bertanggungjawab terhadap akses dari masing-masing siswa dalam PJJ ini. Tidak boleh
lepas tangan begitu saja. Ini adalah dasar dari penerapan teknologi dalam
pembelajaran jarak jauh. Tanpa adanya kesetaraan social serta kesetaraan
digital, maka PJJ tidak akan efektif! Tentunya ini merupakan isu kompleks yang
harus segera dibenahi. Sekali lagi saya tegaskan ini adalah isu kompleks, bukan
isu sederhana yang bisa diselesaikan seperti membalikkan telapak tangan. Ada isu
ekonomi juga disana, terlebih di dalam masa pandemic ini dan keadaan ekonomi
yang tidak menentu, maka ini menjadi lebih parah lagi.
Sebuah Solusi
Sudah Panjang lebar bahasan di
atas, kita langsung masuk aja ke solusinya. Ini solusi dari saya secara pribadi
yaa. Solusi ini bisa saja diterima, atau bahkan ditolak oleh para pembaca. Mari
kita berdiskusi soal ini.
Sebelum masuk ke kebijakan yang
tepat, tentunya pemerinta mempunyai kajian ilmiah yang lengkap. Begitupun dengan
ini, pemetaan social atas kepemilikan smartphone bahkan kuota itu menjadi
penting terutama di beberapa wilayah dimana banyak siswa yang belum memiliki
smartphone. Bayangkan, bila kita punya database pemetaan social, maka kita bisa
langsung bisa mencari solusi atas permasalahan yang ada. Asik bukan?
Nah, kalo udah punya pemetaan social
yang lengkap maka kebijakan yang diambil juga akan tepat. Memang saat ini
kebijakan dana BOS bisa dipakai membeli kuota sudah ada dan ini harus
dimaksimalkan. Lalu bagaimana bagi yang tidak punya smartphone? Apa harus ke
sekolah sendirian? Seperti yang viral belakangan ini. Bila pemetaan social bisa
se-detail itu, maka tidak perlu demikian.
Tentunya kita bisa mencari
solusi atas masalah ini. Si A bisa saja dipinjamkan oleh sekolah atau Lembaga non
profit atas masalah yang ada. Ini manfaatnya dari pemetaan social. Orang lain
yang mau membantu juga bisa mengetahui dengan detail lokasi, serta kebutuhannya
apa. Sehingga, dalam pelaksanaannya, antar elemen masyarakat saling mendukung. Ini
sangat baik.
Demikian tulisan ini saya buat,
semoga kedepannya bisa lebih baik lagi. Tulisan ini merupakan opini ya
teman-teman. Bisa diterima bisa juga ditolak, tapi saya buka ruang diskusi bagi
teman-teman bila memang ingin berdiskusi. Jangan lupa kopinya yaa gaess…