Oleh: Aulia Daie Nichen
Pendahuluan
Pertentangan antara agama
dengan paham Sekularisme bukan barang baru yang terjadi saat ini. Secara
Etimologis Sekularisme berasal dari bahasa latin yaitu, Saeculum yang
memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu
Pertentangan dengan
sekularisme tentu juga dirasakan oleh agama Islam. Dengan perkembangan zaman,
sekularisme menjadi salah satu musuh terbesar islam di zaman ini. Perlawanan
melawan sekularisme banyak dilakukan oleh kalangan islam, salah satunya ialah
tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin yaitu Hasan Al-Banna. Tulisan ini akan
membahas terkait dengan pertentangan antara Islam dengan Sekularisme dalam
perspektif Hasan Al-Banna. Tulisan ini terdiri dari biografi Hasan Al-Banna
serta pembahasan mengenai perspektif Hasan Al-Banna dalam pertentangan antara
Islam dengan Sekularisme.
Biografi Singkat Hasan Al-Banna
Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna
atau yang dikenal sebagai Hasan Al-Banna merupakan sosok dari berdirinya
organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mungkin sudah banyak juga yang
mengetahui tentang beliau. Nama beliau sering disebut-sebut dalam kajian-kajian
keislaman dari kelompok tarbiyah. Namanya juga terpampang jelas dalam salah
satu karyanya yaitu Al-Matsurat yang dibaca oleh kader-kader tarbiyah dari
mulai anak sekolah sampai orang tua setiap pagi dan petang.
Sosok
Hasan Al-Banna dilahirkan pada 14 Oktober pada tahun 1906 di desa Mamudiyah
kawasan Buhairah, Mesir. Mahmudiyah merupakan kota kecil yang berada
di tepi cabang sungai Rasyid yang terhubung ke sungai Nil. Kota kecil yang
kemudian menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Hasan Al-Banna
bersama keluarga serta lingkungan sosialnya. Ia
tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang religius. Ayahnya adalah
Syekh Ahmad Al-Banna,
seorang yang mempunyai
usaha reparasi jam
dan dikenal juga sebagai ulama
yang bermazhab Hanbali.
Ayahnya merupakan lulusan
Al-Azhar dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai Al-Quran dan Hadits
Madrasah Diniyah
Ar-Rasyad menjadi tempat pertama Hasan Al-Banna dalam menimba ilmu.
Kemudian dari tempat ini pula lah Hasan Al-Banna mulai nyaman dan senang
menghafal Al-Quran. Di
sekolah ini ia
sangat mengidolakan sosok gurunya
yaitu Syekh Muhammad Zahran, dan ia pun nyaman belajar Bersama beliau. Tidak
berselang lama sang guru pun sibuk mengurusi hal lain dan urusan sekolah
dipindahkan ke orang lain. Hasan Al-Banna pun merasa tidak cocok dan pindah ke
madrasah I’dadiyah
Selain disibukkan dengan
kegiatan sekolah dan menghafal Al-Qur’an, sejak usia muda bibit pendakwah sudah
muncul di dalam diri Hasan Al-Banna. Pada saat sekolah, ia sudah mendirikan
sebuah organisasi yang ia beri nama Jam’iyah Al-Akhlaq Al-Adabiyah dan
organisasi Man’u Al Muharramat
Fase berikutnya dari
kehidupan Hasan Al-Banna dimulai ketika ia melanjutkan Pendidikan di Madrasah Al-Mu’allimin
kota Damanhur. Ia kemudian berkenalan dengan tarekat Hasafiyah. Interaksi
yang intens antara Hasan Al-Banna dengan tarekat ini menjadikan Hasan Al-Banna
sebagai seorang yang dijuluki sebagai Neo-Salafisme atau Neo-Sufi. Ini
didasarkan kepada kemampuan Hasan Al-Banna (di kemudian hari) dalam meneguk
semangat salafisme yang dikemas dengan gaya yang tidak kuno
Setelah lulus dari
Madrasah Al-Mu’allimin, Hasan Al-Banna kemudian melanjutkan perjalanan
akademiknya ke Dar al-Ulum, Kairo. Dar al-Ulum merupakan universitas
atau sekolah tinggi modern yang ada di Mesir. Dar al-Ulum merupakan perguruan
tinggi yang menjadi sekolah tinggi bagi para calon guru yang ada di Mesir
Kegiatan dakwah Hasan
Al-Banna tidak terhenti ketika ia mulai belajar di Kairo. Ia membentuk kelompok
guna berdakwah dari kafe ke kafe. Saat itu banyak kafe-kafe yang sudah banyak
dibuka di Mesir. Hasan Al-Banna mengambil peran untuk berceramah di kafe-kafe
dan rekan-rekannya berceramah dari masjid ke masjid.
Setelah lulus dari Dar al-Ulum,
pemerintah dalam hal ini kementerian Pendidikan setempat menugaskan Hasan
Al-Banna untuk mengajar di Ismailia. Setelah sampai di Ismailia pada tanggal 19
September 1927, ia kemudian aktif menjalankan tugasnya serta asik mengamati
kondisi yang ada di Ismailia. Karena memang Ismailia merupakan kota yang baru
bagi dirinya. Dan pada tahun 1928, organisasi Ikhwanul Muslimin pun dibentuk di
kota tersebut. Fase berikutnya ia lalui dengan kegiatan dakwah melalui Ikhwanul
Muslimin hingga akhirnya ia tewas ditembak pada tahun 1949.
Pemikiran Hasan Al-Banna
tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari interaksi Hasan Al-Banna dengan
lingkungan serta para pemikir yang ada pada saat itu. Hasan Al-Banna memiliki
afiliasi terhadap beberapa pemikiran pembaharu Islam seperti Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Konsep Pan Islamisme
yang digagas oleh Jamaludin Al-Afghani mempengaruhi pemikiran Hasan Al-Banna
kelak. Ini juga yang menyebabkan Hasan Al-Banna dituding sebagai Syiah karena
dekat dengan Al-Afghani secara pemikiran
Kritik Hasan Al-Banna mengenai
Sekularisme
Pemikiran Hasan Al-Banna
pada intinya adalah antithesis dari Sekularisme. Bila sekularisme menghendaki
pemisahan antara agama dengan urusan dunia, maka sebaliknya Hasan Al-Banna
menganggap bahwa agama dan dunia tidak bisa dipisahkan. Bagi Hasan Al-Banna
Islam adalah:
“…sistem yang menyeluruh, yang menyentuh
seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dari umat,
akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang,
ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan jihad
dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus
dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.“
Dari
kutipan di atas, dengan jelas Hasan Al-Banna menolak gagasan sekularisme yang
ada di dunia. Karena memang semua aspek kehidupan diatur dalam agama Islam,
tidak satu aspek pun yang tidak diatur di dalam islam. Tentu gagasan ini tidak
muncul begitu saja. Sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924,
banyak dari kalangan umat islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah,
termasuk Hasan Al-Banna.
Dalam Khazanah pemikiran Hasan Al-Banna Islam
sebagai system disebut sebagai Syumuliyatul Islam. Ini diambil dari kata
Syamil yang artinya menyeluruh. Artinya, Hasan Al-Banna menganggap bahwa
Islam ialah system yang menyeluruh seperti yang sudah dijelaskan di atas. Tentu
saja ini adalah antithesis dari sekularisme. Lalu bagaimana implementasi pemikiran
ini dalam Gerakan Hasan Al-Banna? Mari kita bahas.
Pemikiran
Hasan Al-Banna sejatinya ialah respon terhadap apa yang terjadi di Mesir dan
dunia kala itu. Semangat mengembalikan kejayaan Islam ramai dibincangkan pada
saat itu. Terlebih ia berafiliasi secara pemikiran kepada Muhammad Abduh, Rasid
Ridha dan Jamaludin Al-Afghani yang memiliki cita-cita sama yaitu kembalinya
kejayaan Islam.
Hasan
Al-Banna hidup kala Mesir dijajah oleh Inggris. Ia merasakan
perubahan-perubahan social yang terjadi di Mesir. Secara histioris, modernisasi
Mesir sebenarnya terjadi ketika Muhammad Ali berkuasa. Mulai dari modernisasi
ekonomi, politik dan bidang lainnya. Ini semua berkiblat ke Barat. Terlebih
pada saat itu, peran ulama juga mengalami Subordinasi, dimana ulama kehilangan
pengaruhnya
Episode sekularisme di Mesir terus berlanjut kala Inggris melakukan penjajahan
atas Mesir. Pada fase ini, peran ulama semakin hilang. Peran ulama yang dahulu
sebagai elite negara, digantikan oleh kaum intelektual yang secular. Yang
dialami oleh Mesir kala itu ialah hal baru bagi Mesir. Mesir yang terkenal
religious harus mengalami perubahan-perubahan nilai. Ini yang disebut oleh Ziad
Munson sebagai keadaan Anomi pada Mesir
Perubahan
nilai di Mesir dicatat jelas oleh Richard Mitchell dan menganggap bahwa keadaan
tersebut merusak tatanan social yang ada di Mesir. Penjajahan Inggris tidak
hanya membawa tantara, sekolah, Bahasa saja. Akan tetapi ia juga turut membawa
alcohol, prostitusi dan masalah social lainnya
Berbagai
hiburan juga masuk di Mesir kala itu. Mulai dari film, radio, music menjadi
hiburan baru bagi masyarakat Mesir kala itu. Prostitusi dan alcohol juga sudah
berani tampak di muka umum kala itu. Hasan Al-Banna menganggap ini sebagai aib
bagi mesir, padahal Islam menjadi agama resmi negara kala itu. Ini yang
kemudian dikritik oleh Hasan Al-Banna bahwa penjajahan Inggris membawa
immoralitas bagi Mesir. Nilai-nilai sekularisme sangat tidak sesuai dengan
Mesir dan Islam. Meskipun demikian, ia tidak anti dengan Barat dari segi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Karena memang terdapat juga keuntungan dari
imperialism barat yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi
Kemudian
dari bidang Pendidikan, Hasan Al-Banna menyoroti peran Pendidikan agama yang
mulai hilang dalam Khazanah Pendidikan di Mesir. Inilah yang menjadi konsen
dari Hasan Al-Banna, terlebih dalam Gerakan yang dibangun Hasan Al-Banna
Pendidikan menjadi jalan untuk melakukan perubahan social.
Pandangan
Hasan Al-Banna dalam mengembalikan kejayaan Islam sedikit berbeda dengan tokoh
lainnya. Bila Hizbut Tahrir dengan lantang meneriakkan Khilafah, Hasan Al-Banna
tidak demikian. Dalam mengembalikan kejayaan Islam, Hasan Al-Banna lebih
memilih jalan secara gradual atau bertahap. Tahapan mengembalikan kejayaan
Islam dalam perspektif Hasan Al-Banna ialah Pribadi Muslim, Rumah Tangga
Muslim, Masyarakat Muslim, Pemerintah Muslim
Tahapan
tahapan tersebut hanya bisa dilakukan melalui Pendidikan islam atau yang
dikenal sebagai Tarbiyah Islamiyah. Secara umum, tujuan Tarbiyah Islamiyah atau
pendidikan Islam adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi manusia agar
dapat hidup di dunia secara lurus dan baik, serta di akhirat dalam naungan
Allah SWT
Hasan
Al-Banna memberikan beberapa saran terkait dengan kondisi Pendidikan yang ia
anggap sudah jauh dari nilai-nilai islam. Ia memberikan saran berupa penetapan
kurikulum agama, Bahasa arab, sejarah
islam, dan sejarah nasional sebagai mata pelajaran pokok di sekolah. Ini untuk
membangkitkan kembali rasa cinta kepada islam. Selain itu ia juga memberikan saran
agar berintegrasi dengan Lembaga-lembaga keislaman dalam hal penyelenggaraan
Pendidikan yang berbasis islam.
Dari
pemikiran social dan Pendidikan, kita beralih ke pemikiran Politik Hasan
Al-Banna dalam merespon sekularisme. Hasan Al-Banna melihat bahwa politik bukan
sekadar urusan pemerintah saja, akan tetapi agama juga harus hadir di dalamnya.
Kemunduran umat Islam secara politis yang ditandai dengan runtuhnya Turki
Utsmani serta banyaknya negara Islam yang dijajah membuat respon dari Hasan
Al-Banna. Selanjutnya juga Perang dunia pada masa itu membuat Umat Islam
semakin mundur secara Politis. Maka dari itu tokoh-tokoh pembaharu di dalam
Islam bermunculan guna mengembalikan kembali kejayaan Islam.
Konsepsi
Syumuliyatul Islam juga berlaku dalam ranah politik. Hasan Al-Banna menganggap
bahwa Al-Islam: Din wa Daulah (Islam adalah Agama dan Negara). Bahkan
dengan tegas Hasan Al-Banna juga mengatakan bahwa Tidak sempurna Islam
seseorang kecuali jika ia adalah seorang politikus
Ini
juga merupakan respon Hasan Al-Banna terhadap kondisi politik yang ada di
Mesir. Dimana kondisi saat itu juga sudah mulai hilang peran agama dalam bidang
politik. Ini ditandai dengan munculnya partai-partai secular-nasionalis.
Padahal saat itu, islam masih menjadi agama resmi negara dan belum berubah.
Hasan Al-Banna melihat ini sebagai kejanggalan. Maka dari itu ia merumuskan
beberapa hal seperti mengembalikan proses ijtihad dalam pengambilan keputusan,
kemudian pembentukan Undang Undang Dasar sesuai syariat islam, serta secara
langsung ia terjun ke dalam politik praktis.
Kemudian
konsepsi negara Islam juga menjadi konsen dari politik islam saat ini.
Bagaimana bentuk negara islam yang sesungguhnya? Apa seperti khilafah? Khilafah
yang mana? Dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini banyak muncul dan
ditanyakan kepada para aktivis islam. Para tokoh masih berdebat soal konsep
negara Islam.
Dalam
hal ini Hasan Al-Banna juga memiliki bentuk negara islam sendiri namun tidak
secara eksplisit. Kita tidak akan menemui bentuk negara Islam dalam karya-karya
Hasan Al-Banna. Karena memang ia tidak menuliskan secara detail bagaimana
negara islam tersebut. Hanya memberikan saran-saran saja kepada pemerintah yang
berkuasa pada saat itu. Yang jelas, Hasan Al-Banna ingin membangun negara Islam
dengan legitimasi yaitu berupa konstitusi
Penerapan
syariat Islam dalam sebuah negara merupakan syarat bagi berdirinya islam di negara
tersebut menurut Hasan Al-Banna. Ia tidak mensyaratkan bentuk negara dalam
pemikirannya. Hanya saja ia memberikan sedikit kisi-kisi terhadap bentuk negara
yang ia idam-idamkan. Hasan Al-Banna banyak mengkritik system parlementer kala
itu dengan banyak partai. Ia menganggap tidak bisa Bersatu bila banyak partai.
Maka dari itu ia menyarankan system parlementer dengan partai tunggal.
Kesimpulan
Syumuliyatul
Islam adalah gagasan Hasan Al-Banna yang merupakan antithesis dari
Sekularisme. Bagi Hasan Al-Banna, Islam adalah sebuah system yang mengatur
seluruh kehidupan manusia. Tidak ada satu ranah pun yang tidak diatur dalam
Islam. Ini menjadi landasan utama Hasan Al-Banna dalam bergerak.
Gagasan
Hasan Al-Banna ini merupakan respons atas keadaan yang terjadi di Mesir kala
itu. Peran agama di ranah public secara perlahan menghilang. Ulama yang tadinya
memegang peranan penting, digeser dengan kaum intelektual. Begitu juga dengan
syariat islam yang mulai diganti dengan nilai-nilai secular dan liberal. Inilah
yang menyebabkan Hasan AL-Banna mengeluarkan gagasan Syumuliyatul Islam
tersebut.
Daftar Pustaka
al-Anani, K. (2013). The Power of the Jama‟A : The
Role of Hasan Al-Banna in Constructing the Muslim Brotherhood‟s Collective
Identity. Sociology of Islam, 45.
Al-Banna, H. (1999). Memoar
Hasan Al-Banna. Solo: Era Intermedia.
Al-Banna, H. (2016). Majmu‟atu
Rasa‟il. Solo: Era Adicitra Intermedia.
Haque, M. A. (2007). 100
Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia. Yogyakarta: Diglossia.
Ishaq, M. M. (2012). Fiqh
Politik Hasan Al Banna. Jakarta: Robbani Press.
Jamaluddin. (2013).
Sekularisme : Ajaran dan Pengaruhnya Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal
Mudarrisuna, 311.
Ladipus, I. M. (2002). A
History Of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.
Mahmud, A. A. (2016). Perangkat
Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Adicitra Intermedia.
Mitchell, R. P. (1993). The
Society Of The Muslim Brothers. New York: Oxford University Press.
Mohammad, H. (2006). Tokoh-Tokoh
Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani.
Moussalli, A. S. (1993).
Hasan Al-Banna‟s Islamist Discourse on Constitutional Rule and Islamic State.
Journal Of Islamic Studies, 162.
Muhammad Iqbal, A. H.
(2010). Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Munson, Z. (2001). Islamic
Mobilization : Social Movement Theory and the Egyptian Muslim Brotherhood. The
Sociological Quarterly, 491.
Mursi, M. S. (2007). Tokoh-Tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah. (A. F. Khoirul Amru, Trans.) Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Nu’man, F. (2004). Al-Ikhwan
Al-Muslimun ‘Anugerah Allah Yang Terzalimi. Depok: Pustaka Nauka.
Rosen, E. (2012). The Muslim
Brotherhood’s Concept Of Education. Current Trends In Islamist Ideology,
119.
Sayed Khatab, G. D. (2007). Democracy
In Islam. New York: Routledge.