Senin, 30 Desember 2019

Peran Pemuda dalam Pemberdayaan Masyarakat

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis peran pemuda dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagai seorang aktivis, maka penting untuk mengetahui konsep pemberdayaan masyarakat agar dapat mengetahui apa saja yang kemudian dibutuhkan agar kondisi masyarakat dapat lebih baik lagi. Ini juga menjadi penting karena memang sudah banyak lembaga yang menyediakan bantuan pemberdayaan masyarakat yang dapat dimaksimalkan oleh para pemuda untuk menigkatkan kesejahteraan sosial dari masyarakat.
Hasil gambar untuk pemuda animasi
Konsep Pemberdayaan Masyarakat
       Salah satu usaha untuk meningkatkan  kesejahteraan masyarakat ialah melalui pemberdayaan masyarakat. Secara konseptual, pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk mengembangkan segala potensi yang ada di masyarakat agar dapat berkembang (Mulyono, 2017). Potensi yang dimaksud adalah potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di masyarakat. Jika SDM tersebut sudah dikembangkan, maka potensi lainnya seperti Sumber Daya Alam (SDA), teknologi dan lain sebagainya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
        Prinsip yang harus dipegang dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah prinsip demokratis. Setiap Individu memiliki hak yang sama untuk berdaya, serta memiliki potensi yang  berbeda (Anwas, 2013). Hak untuk berdaya atau sebuah kelompok masyarakat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Maka dari itu, segala bentuk pemaksaan dalam pemberdayaan masyarakat tidak diperbolehkan karena melanggar prinsip demokratis. Melalui prinsip ini, pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat juga menumbuhkan sikap keterbukaan masyarakat sehingga mereka mau berkembang.
       Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Kesejahteraan yang dimaksud melipiuti kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup masyrakat (Suud, 2006).  Secara tidak langsung, pemberdayaan meningkatkan keadaan ekonomi, kebahagiaan dan kualitas hidup masyarakat.
         Perubahan sosial yang begitu cepat menuntut masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. Akibatnya, ada beberapa mayarakat yang membutuhkan proses pemberdayaan agar dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut.  Maka dari itu, proses pemberdayaan sejatinya bukanlah proses menggurui masyarakat, melainkan sebuah proses menumbuhkan semangat belajar yang mandiri dan partisipatif. (Untung, 2014). Semangat belajar yang dimaksud tentunya untuk menjawab tantangan perubahan sosial yang begitu cepat. Sehingga, dalam proses perubahan sosial yang ada masyarkat sudah siap menghadapi perubahan sosial tersebut.
Proses pemberdayaan masyarakat membutuhkan dukungan dari pelbagai pihak baik dari pihak pemerintah, organisasi sosial, maupun perusahaan. Dukungan dari pihak tersebut menjadi penting guna memfasilitasi masyarakat agar dapat diberdayakan
Peran Pemuda
Pemuda sebagai pilar perubahan sosial sangat berperan dalam perubahan bangsa Indonesia kedepannya. Berbicara pemuda, maka tak hanya seputar demo, hedonisme, egoisme. Akan tetapi ketika berbicara pemuda maka juga berbicara tentang altruisme dari pemuda itu sendiri. Pemuda harus banyak mengambil alih ranah sosial kemasyarakatan dimana memberdayakan masyarakat menjadi hal yang sangat penting.
Dewasa ini banyak organisasi kepemudaan yang bergerak di pelbagai bidang seperti kemanusiaan, sosial, lingkungan dan lain sebagainya. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, maka peran organisasi tersebut sangat penting dalam prosesnya.  Maka, sudah seharusnya mindset organisasi pemuda sudah mengarah kepada pemberdayaan masyarakat, bukan lagi sekadar membuat acara sosial saja.
Mindset pemberdayaan masyarakat sangat penting agar program-program dari organisasi kepemudaan beroirentasi kepada pemberdayaan masyarakat. Ini bisa terlihat dari proposal yang diajukan kepada dana pemerintah atau Corporate Social Responsibility (CSR) bukan hanya sekadar meminta dana sponsor, akan tetapi sudah bergeser ke arah meminta agar masyarakat diberdayakan.
Hal tersebut hanya dapat dilakukan ketika pemuda memiliki setidaknya dua kemampuan dasar yaitu kepekaan sosial dan social mapping. Kepekaan sosial sudah seharusnya menjadi sifat dasar organisasi kepemudaan dalam konteks sosial. Sedangkan kemampuan Social Mapping atau pemetaan sosial adalah kemampuan lanjutan yang merupakan implementasi dari kepekaan sosial yang sudah dimiliki.
Social Mapping yang dimaksud ialah kemampuan untuk melakukan pemetaan sosial yang ada di masyarakat. Tak perlu terlalu rumit dalam membuat social mapping, yang penting di dalamnya terdapat analisis SWOT dari keadaan masyarakat yang ada. Dari hasil social mapping tersebut maka didapatkanlah kebutuhan masyarakat bukan hanya sekadar kemauan dari masyarakat.
Asumsi dasar dari pemberdayaan masyarakat adalah bahwa masih ada kondisi dari masyarakat yang belum ideal, maka pemberdayaan masyarakat dibuat untuk mengarahkan kondisi masyarakat menuju ideal. Secara fakta juga demikian, masih banyak masyarakat yang berada dalam kondisi kemiskinan.
Pemuda yang memiliki kepekaan sosial sudah tentu akan merasa bahwa masyarakat butuh diberdayakan. Asumsi serta fakta bahwa masyarakat belum ideal belum akan terbantah jika pemuda memiliki kepekaan sosial. Jika pemuda tidak memiliki kepekaan sosial, maka sudah tentu fakta bahwa masih ada kemiskinan, atau masyarakat pra sejahtera akan dibiarkan begitu saja.
Kesimpulan
Pemuda sangat berperan penting dalam proses pemberdayaan masyarakat. Jika semua pemuda memiliki mindset pemberdayaan masyarakat, maka dapat dipastikan masyarakat akan berdaya menghadapi keadaan yang selalu berubah.
Pemuda tidak hanya seputar hedonisme belaka, ada sisi sosial pemuda  yang menjadi potensi untuk dikembangkan. Dengan dua kemampuan dasar yaitu kepekaan sosial dan social mapping yang dimiliki oleh pemuda, maka dapat dipastikan bahwa peran pemuda sangat signifikan dalam pemberdayaan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat menjadi tanggungjawab sosial semua orang dan pemuda harus menjadi peloppr dari pemberdayaan masyarakat. Sudah seharusnya mindset pemuda bergeser dari hanya sekadar meminta dana menjadi orang yang menyodorkan konsep pemberdayaan kepada pihak tertentu. Dengan demikian maka angka kemiskinan akan terus menurun seiring dengan meningkatnya peran pemuda dalam pemberdayaan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Anwas, O. M. (2013). Pemberdayaan Masyarakat di Era Global. Bandung: Alfabeta.
Mulyono, S. E. (2017). Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Ombak.
Suud, M. (2006). 3 Orientasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Untung, B. (2014). CSR dalam Dunia Bisnis. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Terima kasih Sudah membaca :)
Aulia Daie Nichen

Jumat, 20 Desember 2019

Apa Benar Karl Marx Membenci Agama?

Apa Benar Karl Marx Membenci Agama? 
“Religionis the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless word, and the soul of soulless conditions. It is the opium of the people.”

Tulisan ini merupakan opini penulis tentang anggapan orang yang mengatakan bahwa Karl Marx membenci agama dengan perkataan agama adalah candu. Asumsi dasar tulisan ini adalah bahwa masih ada orang yang kemudian menganggap bahwa Marx membenci agama. Penulis membuka ruang diskusi bagi para pembaca. Mari berdiskusi!
 Berbicara tentang Marx, maka yang terpikirkan di benak kita adalah komunis dan kata-kata ‘agama adalah candu’. Dua hal itu yang menjadi ciri khas yang diingat oleh orang lain dari Karl Marx. Dua hal itu seolah-olah menjadi hal yang paling menggambarkan Karl Marx. Untuk hal pertama yaitu kata komunis mungkin saja benar karena memang akar dari pemikiran komunis adalah Marxisme. Namun hal kedua banyak disalahartikan oleh banyak orang. Kebanyakan orang menganggap bahwa Karl Marx sangat anti agama. Apa benar demikian?
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang candu yang dieratkan dengan agama oleh Karl Marx, saya akan sedikit membahas terkait posisi filosofis Marx. Dasar filosofis yang dianut oleh Marx adalah Materialisme. Asumsi dari Materialisme itu sendiri adalah bahwa ide atau gagasan berasal dari dunia materi bukan sebaliknya. Karena memang dunia materi adalah sebuah keniscayaan yang sudah ada bukan merupakan hasil dari ide atau gagasan manusia.
Asumsi tersebut kemudian berkaitan dengan agama. Sebagai materialis, Marx memandang agama sebagai sebuah produk sejarah dan produk social yang diproduksi oleh manusia. Untuk itu, maka menurut Marx ide atau gagasan harus dapat dilacak akar social serta historisnya. Tentu asumsi ini akan bertentangan bagi kaum agamis yang menganggap bahwa agama adalah ciptaan dari Tuhan. Asumsi Marx ini tentu saja wajar karena memang dirinya adalah seorang materialis. Namun, label bahwa Marx membenci agama belum tentu bisa disematkan kepada Marx.
Kata-kata agama adalah candu menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari Karl Marx. Bagi penulis, kata-kata ini banyak disalah pahami oleh sebagian orang. Akhirnya adalah banyak yang menganggap bahwa Karl Marx membenci agama. Padahal bagi penulis kritik kata-kata tersebut hanyalah sebuah kritik atas keadaan yang ada pada saat itu.
Memahami sebuah ide, gagasan atau kata-kata yang dikeluarkan oleh seseorang harus selalu melihat konteksnya. Karena memang tidak mungkin ide, gagasan atau kata-kata bisa muncul tanpa ada konteks yang menyertainya. Konteks Karl Marx berbicara seperti itu ialah kritik terhadap agama yang ditunggangi kepentingan kapitalisme saat itu.
Kapitalisme pada saat Marx hidup berkembang sangat pesat. Kritik keras Marx terhadap kapitalisme juga mengarah kepada kritik khusus pada agama saat itu. Mengapa demikian? Gerakan buruh yang sudah muncul pada saat itu dan bisa dikatakan berniat melakukan revolusi. Namun saat itu para buruh mendapatkan sebuah kesadaran palsu dimana mereka tidak melakukan revolusi karena dijanjikan surga oleh para pemuka agama jika tidak melakukan hal tersebut. Inilah yang kemudian dikritik oleh Marx.
Kesadaran palsu yang disebut oleh Marx tersebut menjadi salah satu focus Marx dalam kritiknya terhadap kapitalisme. Kesadaran palsu yang kemudian disebarkan oleh para pemuka agama menjadi sebuah ironi dari agama. Marx melihat bahwa ini adalah bentuk dari pemanfaatan agama oleh para kapitalis. 
Dengan melihat konteks itu, maka sebenarnya kritik Marx bukan tertuju langsung kepada agama melainkan kepada para kapitalis yang tega memakai agama sebagai alat untuk mempertahankan status quo. Selain itu, dengan adanya kritik tersebut penulis melihat justru Marx berharap agama seharusnya yang menjadi alat perjuangan buruh bukan menjadi alat mengendurkan perjuangan. Dari konteks ini penulis juga beranggapan bahwa sesungguhnya Marx tidak membenci agama (meskipun dia seorang yang menganut materialism), melainkan ia mengkritik praktik-praktik keagamaan yang dikendalikan oleh kapitalisme untuk mengendurkan perjuangan kaum buruh.
Terima kasih telah membaca :)

Rabu, 19 Juni 2019

Sekolah dan Masyarakat

Oleh : Aulia Daie Nichen
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang melakukan proses pendidikan kepada peserta didik. Dewasa ini, macam-macam sekolah berkembang pesat mulai dari sekolah formal biasa yang kita kenal sehari-hari hingga konsep sekolah alam yang jarang orang memperhatikannya. Peserta didik dikirim ke sekolah-sekolah dengan harapan pulang membawa bekal ilmu yang cukup serta nilai yang bagus. Nilai tentu didapat di dalam proses pembelajaran di sekolah, namun belum tentu dengan bekal ilmu yang didapat sekolah. Siapa yang bisa memastikan bahwa sang peserta didik memahami betul apa yang diajarkan gurunya di sekolah?
Hasil gambar untuk sekolah dan masyarakat
Pertanyaan itu bukan berarti meragukan proses pembelajaran di sekolah, akan tetapi kita patut kritis akan apa yang dipelajari di sekolah. Darimana mengetahui sang anak mendapatkan ilmunya? Menurut saya bisa menggunakan alat tes seperti umumnya di sekolah, atau bisa menggunakan pengamatan. Pengamatan yang dimaksud bisa dilakukan oleh guru, teman sejawat, orang tua bahkan masyarakat yang ada di sekitar rumahnya. Lalu apa yang diamati? Perilaku dari sang peserta didik tersebut, kemudian ilmu apa saja yang sudah diterapkan di kehidupan sehari-hari. Misalkan seperti ilmu akuntansi yang diterapkan di warung milik orang tua sang peserta didik.
Ilmu yang didapat oleh peserta didik tentunya tidak dapat diimplementasikan secara menyeluruh. Namun, paling tidak ada hal-hal yang diimplementasikan ke kehidupan sehari-hari dari proses pembelajaran di kelas. Sehingga, apa yang dipelajari bukan sekadar hafalan belaka, namun lebih dari itu menjadi sebuah hal yang diimplementasikan di kehidupan sehari-hari.

Jarak Sosial Sekolah Dan Masyarakat
Jika kita mendengar kata sekolah, maka yang terbayang di dalam pikiran kita ialah bangunan tinggi dengan pagar dan tembok yang berdiri kokoh serta dilengkapi dengan fasilitas yang ada seperti lapangan, laoratorium dan juga tempat ibadah sendiri. Itulah sekolah pada umumnya, yang bahkan berada di tengah-tengah masyarakat namun memiliki kehidupan sendiri. Jarak yang ada antara sekolah dan masyarakat bukan jarak geografis, akan tetapi jarak sosial yang terbentang dari sekolah hingga ke masyarakat. Bisa jadi sekolah berada di tengah perkampungan, namun tidak pernah berinteraksi dengan masyarakat kampong tersebut. Bisa jadi sebaliknya, sekolah berada di pinggir jalan raya namun memiliki program bersama masyarakat di sekitar.
Lalu apa permasalahannya jika sekolah dan masyarakat tidak berinteraksi? Pertanyaan yang bagi saya menarik, karena bisa terdapat dua jawaban yaitu tidak ada masalah dan tentunya sangat bermasalah. Tidak masalah bagi mereka yang menganggap bahwa fungsi sekolah hanya sekadar belajar di kelas, dan tidak perlu turun ke masyarakat. Dianggap masalah bagi mereka yang percaya bahwa fungsi sekolah ialah bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri. Karena secara alami seluruh komponen sekolah berasal dari masyarakat.
Mereka yang menganggap sekolah dan masyarakat tidak perlu bersinergi ialah orang yang juga menganggap bahwa fungsi sekolah hanya sekadar perbaikan kekayaan material saja. Anak dikirim untuk sekolah tujuannya adalah untuk mendapat nilai yang tinggi, sehingga dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya ke sekolah favorit, begitu hingga ia lulus kuliah dan seterusnya. Dari kecil kita diajari bahwa dengan sekolah maka kita akan sukses dan jadi orang. Terngiang di telinga saya bahwa guru dan orang tua saya selalu berkata “sekolah yang bener, biar jadi orang”. Dahulu pasti kita pernah mendengar itu dan mengiyakan. Namun belum tentu di kemudian hari kita bersepakat dengan kata-kata itu.
Semakin dewasa kita semakin melihat kenyataan bahwa bahkan orang yang pandai pun bisa tidak sukses dalam karirnya. Kepintaran yang diwujudkan oleh nilai tidak menjamin seseorang sukses dan menjadi orang. Karena semakin kita dewasa semakin kita mengetahui bahwa masih banyak factor di luar daripada kepintaran dan secarik kertas bertuliskan nilai yang tinggi tersebut. Namun tidak juga sedikit orang yang masih mempercayai hal itu.
Sebaliknya, mereka yang percaya bahwa sekolah dan masyarakat harus bersinergi bahkan melebur adalah mereka yang jenuh akan keadaan saat ini. Keadaan dimana sekolah hanya menjadi formalitas saja bagi masyarakat kredensial yang masih mengejar sertifikat, ijazah dan lain sebagainya. Itu tentu saja penting, namun bukan berarti segalanya dan melupakan esensi pendidikan itu sendiri.
Pendidikan dewasa ini direduksi menjadi proses belajar di dalam kelas, padahal setiap dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia bisa dikatakan sebuah peroses pendidikan. Apa yang kemudian ada dewasa ini ialah pendidikan yang sudah direduksi maknanya. Kelas menjadi satu-satunya ruangan belajar di dalam pendidikan, padahal ruang belajar terbuka lebar di masyarakat. Masyarakat adalah laboratorium yang ada dan harus dimanfaatkan oleh peserta didik. Mereka bisa belajar budaya, ilmu alam, ilmu sosial dan lain sebagainya.
Fakta yang ada saat ini ialah bahwa hanya sedikit sekolah yang menerapkan hal tersebut. Hanya ada beberapa sekolah seperti sekolah alam yang bersinergi dengan masyarakat yang ada. Sekolah formal yang biasa kita lihat dengan pagar dan tembok yang tinggi membatasi antara sekolah dan masyarakat. Pagar dan tembok tinggi menjadi sebuah symbol dimana membedakan serta membatasi dua kehidupan yang ada. Terlebih dengan hadirnya masjid yang juga menjadi symbol bahwa kehidupan beragama sekolah hanya ada di sekolah. Semua ibadah di waktu sekolah berpusat hanya di dalam sekolah belaka. Ini menunjukkan adanya kehidupan yang mandiri di dalam sekolah. Entah berapa sekolah yang tidak punya masjid sendiri yang mengharuskan peserta didiknya shalat di masjid di wilayah masyarakat.
Bahkan pada tingkat perguruan tinggi saja banyak yang belum menjalankan peran pengabdian Masyarakat. Wujud konkret kampus dari pengabdian masyarakat ialah KKN (Kuliah Kerja Nyata). Namun, dewasa ini ada beberapa kampus yang sudah tidak mewajibkan lagi mata kuliah tersebut. Entah dengan alasan dana ataupun keselamatan dari mahasiswa itu sendiri.
Menuju Sekolah Ideal
Ideal merupakan kondisi dimana hal yang dicita-citakan dan diinginkan tercapai. Tentunya ideal disini menyesuaikan dengan konteks sosiologis yang ada di masyarakat. Setiap individu, bahkan masyarakat memilki standar ideal yang berbeda. Bergantung kepada proses yang dijalani oleh individu dan kelompok itu sendiri. Jika ia mengalami proses bersama orang-orang yang menganggap sekolah tak perlu berinteraksi dengan masyarakat, maka itu pula yang akan ia pikirkan, begitupun sebaliknya.
Pada bagian ini, saya mencoba sedikit merumuskan bagaimana agar sekolah dan masyarakat dapat bersinergi baik secara parsial maupun secara keseluruhan. Butuh proses untuk mengubah itu semua. Karena memang idealnya adalah bahwa sekolah dan masyarakat menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Maka, pemisahan yang ada dapat membuat fungsi lain sekolah yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat tidak tercapai.
Dalam konteks sekolah, maka terdapat unsur kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, orang tua, peserta didik dan lain sebagainya yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Sudah seharusnya sekolah memikirkan program yang ada bagi masyarakat. Sehingga jarak sosial antara sekolah dan masyarakat tidak terlampau jauh lagi.
Paling tidak, sekolah mempunyai program khusus bagi peserta didik untuk mengenal masyarakat sekitar sekolah dan tentunya masyarakat di rumahnya. Sekolah harus menyusun program semester dan program tahunan dengan memperhatikan masyarakat sekitar. Bisa saja sekolah mempunyai metode belajar khusus dengan masyarakat di sekitar. Selain itu juga dapat diimplementasikan lewat metode pembelajaran yang ada.
Metode pembelajaran yang ada harus kontekstual dengan kondisi masyarakat yang ada. Sehingga, peserta didik dapat mengetahui secara langsung manfaat dari belajar pelajaran tersebut. Bisa juga dengan melibatkan masyarakat dalam proses pembelajaran seperti pada BAB metodologi penelitian padamata pelajaran sosiologi, atau bisa juga dengan menginventarisir tumbuhan yang ada dan tumbuh di masyarakat.  Itu semua bisa dilaksanakan dengan komitmen sekolah dan juga masyarakat itu sendiri. Dengan adanya ini, paling tidak sekolah dengan masyarakat berinteraksi dan kedepannya bisa bersinergi. Sehingga tidak adalagi jarak sosial antara sekolah dan masyarakat.  

Jumat, 08 Maret 2019

Mari Belajar dari Kasus Penangkapan Robertus Robet


Oleh : Aulia Daie Nichen

Indonesia sedang dihebohkan oleh potongan video yang menyebar dan viral di sosial media. Potongan video di aksi Kamisan tersebut berisi nyanyian ABRI yang dinyanyikan oleh Robertus Robet. Lirik yang kemudian dinyanyikan oleh Robertus Robet ialah lirik nyanyian ABRI pada masa ORBA yang dinyanyikan oleh mahasiswa pada saat itu. Saya memakai diksi potongan karena memang video yang viral ialah hanya sebatas potongan saja, bukan video full. Yang terjadi selanjutnya ialah Robertus Robet ditangkap oleh Polisi pada dini hari tanggal 7 Maret 2019.

Penangkapan tersebut menurut hemat saya ialah sebuah bentuk kemunduran demokrasi kita. Bagaimana mungkin seseorang bisa ditangkap hanya karena ia orasi. Padahal kita sudah melewati fase-fase sulit di Orde Baru. Peajaran pertama yang dapat kita ambil pada kasus ini ialah bahwa kita harus melihat sesuatu dengan komprehensif. Tidak melihat sesuatu yang hanya sebagian apalagi hanya sepotong-potong.  Ini penting guna melihat sesuatu dengan objektif. Karena yang terjadi pada kasus ini ialah, banyak orang yang hanya melihat potongan video, bukan video full dari orasi Robertus Robet.

Potongan video yang tersebar hanya berisi nyanyian ABRI saja, tidak ada isi yang lainnya. Tentu kita tidak bisa menilai atau bahkan menghukum seseorang hanya karena potongan video saja. Ia harus melihat video fullnya. Maka ketika melihat video fullnya yang akan didapatkan ialah kritik terhadap pemerintah hari ini dengan polemik Dwi-Fungsi TNI.

Kedua, pelajaran yang juga dapat kita ambil dari kasus penangkapan Robertus Robet ialah bahwa ketika melihat sesuatu juga harus melihat konteksnya. Karena tak mungkin sesuatu lepas dari konteksnya, ia harus selalu dieratkan dengan konteksnya. Konteks orasi pada Aksi Kamisan pada saat itu ialah mengkritik pemerintah hari ini dengan polemik kembalinya Dwi-Fungsi TNI. Aksi kamisan pada hari itu mengkritik hal tersebut dan mengusung hastag #TolakDwiFungsiTNI. Konteksnya ialah kritik, bukan ajang penghinaan terhadap institusi tertentu. Robertus Robet pada konteks itu juga sedang menggunakan haknya untuk berpendapat di muka umum. Itu konteksnya, jangan menilai sesuatu tanpa melihat konteksnya.

Ketiga, pelajaran yang juga dapat kita ambil dari kasus ini ialah kasus ini menjadi pengingat bagi kita bahwa kebebasan berpendapat tidak dapat dipidanakan, bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mutlak yang dimiliki  setiap warga negara. Kebebasan berpendapat tersebut tidak boleh dikekang oleh apapun. Bahkan negara harus melindungi kebebasan berpendapat.

Kasus penangkapan ini bukan akhir dari problem demokrasi yang ada di Indonesia. Agenda perjuangan #BebaskanRobet menjadi pengingat untuk kita bahwa Indonesia harus lebih baik lagi kedepan dan tidak anti terhadap kritik. Kedepannya, bisa jadi akan banyak kasus-kasus serupa seperti kasus ini. Maka, yang selanjutnya harus diperjuangkan ialah penghapusan Peraturan-peraturan yang dianggap dapat menjadi pengekang dari kebebasan berpendapat di Indonesia. Jangan sampai demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.

Panjang umur perjuangan!

#BebaskanRobet
#TolakDwiFungsiTNI