Minggu, 06 September 2020

Islam vs Sekularisme dalam Perspektif Hasan Al-Banna

 Oleh: Aulia Daie Nichen

Pendahuluan

Pertentangan antara agama dengan paham Sekularisme bukan barang baru yang terjadi saat ini. Secara Etimologis Sekularisme berasal dari bahasa latin yaitu, Saeculum yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu (Jamaluddin, 2013). Artinya adalah bahwa sekularisme berkaitan hanya dengan waktu tertentu dan tempat tertentu, yaitu dunia ini. Kemudian secara bahasa bisa diartikan sebagai paham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini saja. Tidak melibatkan apapun selain itu, yaitu agama. Karena memang pemisahan antara urusan agama dan dunia menjadi sebuah landasan dari sekularisme.

Pertentangan dengan sekularisme tentu juga dirasakan oleh agama Islam. Dengan perkembangan zaman, sekularisme menjadi salah satu musuh terbesar islam di zaman ini. Perlawanan melawan sekularisme banyak dilakukan oleh kalangan islam, salah satunya ialah tokoh pergerakan Ikhwanul Muslimin yaitu Hasan Al-Banna. Tulisan ini akan membahas terkait dengan pertentangan antara Islam dengan Sekularisme dalam perspektif Hasan Al-Banna. Tulisan ini terdiri dari biografi Hasan Al-Banna serta pembahasan mengenai perspektif Hasan Al-Banna dalam pertentangan antara Islam dengan Sekularisme.

Biografi Singkat Hasan Al-Banna

Hasan Ahmad Abdurrahman Al-Banna atau yang dikenal sebagai Hasan Al-Banna merupakan sosok dari berdirinya organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mungkin sudah banyak juga yang mengetahui tentang beliau. Nama beliau sering disebut-sebut dalam kajian-kajian keislaman dari kelompok tarbiyah. Namanya juga terpampang jelas dalam salah satu karyanya yaitu Al-Matsurat yang dibaca oleh kader-kader tarbiyah dari mulai anak sekolah sampai orang tua setiap pagi dan petang.

            Sosok Hasan Al-Banna dilahirkan pada 14 Oktober pada tahun 1906 di desa   Mamudiyah kawasan Buhairah, Mesir. Mahmudiyah merupakan kota kecil yang   berada di tepi cabang sungai Rasyid yang terhubung ke sungai Nil. Kota kecil yang kemudian  menjadi tempat tumbuh dan  berkembangnya Hasan  Al-Banna  bersama keluarga serta lingkungan sosialnya.    Ia tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang religius. Ayahnya adalah Syekh  Ahmad  Al-Banna,  seorang  yang  mempunyai  usaha  reparasi  jam  dan  dikenal  juga  sebagai  ulama  yang  bermazhab  Hanbali.  Ayahnya  merupakan   lulusan Al-Azhar dan memiliki pengetahuan mendalam mengenai Al-Quran dan  Hadits (Haque, 2007).  Ia  juga  merupakan  Imam  masjid  di  desanya.  Pada  usia  12  tahun  ia   berhasil menghafal setengah isi dari Al-Qur’an dan pada usia 14 tahun ia berhasil  menghafal  seluruh  isi  dari  Al-Qur’an (Mohammad, 2006).  Lingkungan  keluarga  yang  religius   membuat Hasan Al-Banna juga menjadi seorang yang religius semenjak kecil.   Juga lingkungan sosialnya yang dibangun oleh Ayahnya juga.  

Madrasah  Diniyah  Ar-Rasyad menjadi tempat pertama Hasan Al-Banna dalam menimba ilmu. Kemudian dari tempat ini pula lah Hasan Al-Banna mulai nyaman dan  senang  menghafal  Al-Quran.  Di  sekolah  ini  ia  sangat  mengidolakan  sosok  gurunya yaitu Syekh Muhammad Zahran, dan ia pun nyaman belajar Bersama beliau. Tidak berselang lama sang guru pun sibuk mengurusi hal lain dan urusan sekolah dipindahkan ke orang lain. Hasan Al-Banna pun merasa tidak cocok dan pindah ke madrasah I’dadiyah (Al-Banna, 1999).

Selain disibukkan dengan kegiatan sekolah dan menghafal Al-Qur’an, sejak usia muda bibit pendakwah sudah muncul di dalam diri Hasan Al-Banna. Pada saat sekolah, ia sudah mendirikan sebuah organisasi yang ia beri nama Jam’iyah Al-Akhlaq Al-Adabiyah dan organisasi Man’u Al Muharramat (Mursi, 2007). Organisasi Jam’iyah Al-Akhlaq Al-Adabiyah berorientasi kepada akhlak murid di sekolah. Jika ada yang melanggar peraturan seperti memaki saudara, ibu atau lain sebagainya akan didenda dengan menyetorkan sejumlah uang infaq. Sedangkan Man’u Al Muharramat berorientasi kepada masyarakat umum. Jika ada yang kemudian terlihat melanggar syariat Islam, maka akan diberi surat oleh organisasi ini.

Fase berikutnya dari kehidupan Hasan Al-Banna dimulai ketika ia melanjutkan Pendidikan di Madrasah Al-Mu’allimin kota Damanhur. Ia kemudian berkenalan dengan tarekat Hasafiyah. Interaksi yang intens antara Hasan Al-Banna dengan tarekat ini menjadikan Hasan Al-Banna sebagai seorang yang dijuluki sebagai Neo-Salafisme atau Neo-Sufi. Ini didasarkan kepada kemampuan Hasan Al-Banna (di kemudian hari) dalam meneguk semangat salafisme yang dikemas dengan gaya yang tidak kuno (Muhammad Iqbal, 2010).

Setelah lulus dari Madrasah Al-Mu’allimin, Hasan Al-Banna kemudian melanjutkan perjalanan akademiknya ke Dar al-Ulum, Kairo. Dar al-Ulum merupakan universitas atau sekolah tinggi modern yang ada di Mesir. Dar al-Ulum merupakan perguruan tinggi yang menjadi sekolah tinggi bagi para calon guru yang ada di Mesir (Mitchell, 1993). Kemudian kehidupan intelektual Hasan Al-Banna semakin terasah di Kairo ini. Di Kairo, Hasan Al-Banna kemudian semakin terbuka pemikirannya serta banyak berinteraksi dengan ulama, tokoh yang ada di Kairo tersebut. Ia tidak pernah berhenti untuk menuntut Ilmu di Kairo. Dar al- Ulum juga merupakan sekolah tinggi yang sekular. Kurikulumnya bertujuan untuk mendidik siswa dengan pendidikan agama maupun pendidikan sekuler menggunakan metode pedagogi Barat (Rosen, 2012). Hasan Al-Banna kemudian mulai tertarik dengan metode Barat dan menerapkannya ke dalam Pendidikan Islam.

Kegiatan dakwah Hasan Al-Banna tidak terhenti ketika ia mulai belajar di Kairo. Ia membentuk kelompok guna berdakwah dari kafe ke kafe. Saat itu banyak kafe-kafe yang sudah banyak dibuka di Mesir. Hasan Al-Banna mengambil peran untuk berceramah di kafe-kafe dan rekan-rekannya berceramah dari masjid ke masjid.

Setelah lulus dari Dar al-Ulum, pemerintah dalam hal ini kementerian Pendidikan setempat menugaskan Hasan Al-Banna untuk mengajar di Ismailia. Setelah sampai di Ismailia pada tanggal 19 September 1927, ia kemudian aktif menjalankan tugasnya serta asik mengamati kondisi yang ada di Ismailia. Karena memang Ismailia merupakan kota yang baru bagi dirinya. Dan pada tahun 1928, organisasi Ikhwanul Muslimin pun dibentuk di kota tersebut. Fase berikutnya ia lalui dengan kegiatan dakwah melalui Ikhwanul Muslimin hingga akhirnya ia tewas ditembak pada tahun 1949.

Pemikiran Hasan Al-Banna tidak hadir begitu saja. Ia lahir dari interaksi Hasan Al-Banna dengan lingkungan serta para pemikir yang ada pada saat itu. Hasan Al-Banna memiliki afiliasi terhadap beberapa pemikiran pembaharu Islam seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Konsep Pan Islamisme yang digagas oleh Jamaludin Al-Afghani mempengaruhi pemikiran Hasan Al-Banna kelak. Ini juga yang menyebabkan Hasan Al-Banna dituding sebagai Syiah karena dekat dengan Al-Afghani secara pemikiran (Nu’man, 2004). Kemudian Muhammad Abduh dengan pemikiran nasionalisnya yang sama menentang Imperialisme Barat atas negara Islam. Dan yang ketiga ialah Rasyid Ridha yang tulisannya sudah dibaca sudah dibaca Hasan Al-Banna sedari kecil (Sayed Khatab, 2007). Ketiganya saling berkaitan secara pemikiran dan Hasan Al-Banna banyak mengikuti cara berpikir ketiga tokoh tersebut dimana Islam harus tegak dan tidak boleh diam atas Imperialisme yang dilakukan oleh Barat.

Kritik Hasan Al-Banna mengenai Sekularisme

Pemikiran Hasan Al-Banna pada intinya adalah antithesis dari Sekularisme. Bila sekularisme menghendaki pemisahan antara agama dengan urusan dunia, maka sebaliknya Hasan Al-Banna menganggap bahwa agama dan dunia tidak bisa dipisahkan. Bagi Hasan Al-Banna Islam adalah:

 “…sistem yang menyeluruh, yang menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dari umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih.“ (Al-Banna, Majmu‟atu Rasa‟il, 2016)

            Dari kutipan di atas, dengan jelas Hasan Al-Banna menolak gagasan sekularisme yang ada di dunia. Karena memang semua aspek kehidupan diatur dalam agama Islam, tidak satu aspek pun yang tidak diatur di dalam islam. Tentu gagasan ini tidak muncul begitu saja. Sejak runtuhnya Khilafah Turki Utsmani pada tahun 1924, banyak dari kalangan umat islam yang ingin mengembalikan Khilafah Islamiyah, termasuk Hasan Al-Banna.

             Dalam Khazanah pemikiran Hasan Al-Banna Islam sebagai system disebut sebagai Syumuliyatul Islam. Ini diambil dari kata Syamil yang artinya menyeluruh. Artinya, Hasan Al-Banna menganggap bahwa Islam ialah system yang menyeluruh seperti yang sudah dijelaskan di atas. Tentu saja ini adalah antithesis dari sekularisme. Lalu bagaimana implementasi pemikiran ini dalam Gerakan Hasan Al-Banna? Mari kita bahas.

            Pemikiran Hasan Al-Banna sejatinya ialah respon terhadap apa yang terjadi di Mesir dan dunia kala itu. Semangat mengembalikan kejayaan Islam ramai dibincangkan pada saat itu. Terlebih ia berafiliasi secara pemikiran kepada Muhammad Abduh, Rasid Ridha dan Jamaludin Al-Afghani yang memiliki cita-cita sama yaitu kembalinya kejayaan Islam.

            Hasan Al-Banna hidup kala Mesir dijajah oleh Inggris. Ia merasakan perubahan-perubahan social yang terjadi di Mesir. Secara histioris, modernisasi Mesir sebenarnya terjadi ketika Muhammad Ali berkuasa. Mulai dari modernisasi ekonomi, politik dan bidang lainnya. Ini semua berkiblat ke Barat. Terlebih pada saat itu, peran ulama juga mengalami Subordinasi, dimana ulama kehilangan pengaruhnya (Ladipus, 2002).  

            Episode sekularisme di Mesir terus berlanjut kala Inggris melakukan penjajahan atas Mesir. Pada fase ini, peran ulama semakin hilang. Peran ulama yang dahulu sebagai elite negara, digantikan oleh kaum intelektual yang secular. Yang dialami oleh Mesir kala itu ialah hal baru bagi Mesir. Mesir yang terkenal religious harus mengalami perubahan-perubahan nilai. Ini yang disebut oleh Ziad Munson sebagai keadaan Anomi pada Mesir(Munson, 2001).

            Perubahan nilai di Mesir dicatat jelas oleh Richard Mitchell dan menganggap bahwa keadaan tersebut merusak tatanan social yang ada di Mesir. Penjajahan Inggris tidak hanya membawa tantara, sekolah, Bahasa saja. Akan tetapi ia juga turut membawa alcohol, prostitusi dan masalah social lainnya (Mitchell, 1993). Tentu ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut Mesir dahulu.

            Berbagai hiburan juga masuk di Mesir kala itu. Mulai dari film, radio, music menjadi hiburan baru bagi masyarakat Mesir kala itu. Prostitusi dan alcohol juga sudah berani tampak di muka umum kala itu. Hasan Al-Banna menganggap ini sebagai aib bagi mesir, padahal Islam menjadi agama resmi negara kala itu. Ini yang kemudian dikritik oleh Hasan Al-Banna bahwa penjajahan Inggris membawa immoralitas bagi Mesir. Nilai-nilai sekularisme sangat tidak sesuai dengan Mesir dan Islam. Meskipun demikian, ia tidak anti dengan Barat dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena memang terdapat juga keuntungan dari imperialism barat yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi (al-Anani, 2013).

            Kemudian dari bidang Pendidikan, Hasan Al-Banna menyoroti peran Pendidikan agama yang mulai hilang dalam Khazanah Pendidikan di Mesir. Inilah yang menjadi konsen dari Hasan Al-Banna, terlebih dalam Gerakan yang dibangun Hasan Al-Banna Pendidikan menjadi jalan untuk melakukan perubahan social.

            Pandangan Hasan Al-Banna dalam mengembalikan kejayaan Islam sedikit berbeda dengan tokoh lainnya. Bila Hizbut Tahrir dengan lantang meneriakkan Khilafah, Hasan Al-Banna tidak demikian. Dalam mengembalikan kejayaan Islam, Hasan Al-Banna lebih memilih jalan secara gradual atau bertahap. Tahapan mengembalikan kejayaan Islam dalam perspektif Hasan Al-Banna ialah Pribadi Muslim, Rumah Tangga Muslim, Masyarakat Muslim, Pemerintah Muslim (Ishaq, 2012).

            Tahapan tahapan tersebut hanya bisa dilakukan melalui Pendidikan islam atau yang dikenal sebagai Tarbiyah Islamiyah. Secara umum, tujuan Tarbiyah Islamiyah atau pendidikan Islam adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi manusia agar dapat hidup di dunia secara lurus dan baik, serta di akhirat dalam naungan Allah SWT (Mahmud, 2016). Inilah yang dipegang teguh oleh Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin. Maka tidak heran, bila Hasan Al-Banna juga sangat konsen di bidang Pendidikan.

            Hasan Al-Banna memberikan beberapa saran terkait dengan kondisi Pendidikan yang ia anggap sudah jauh dari nilai-nilai islam. Ia memberikan saran berupa penetapan kurikulum agama,  Bahasa arab, sejarah islam, dan sejarah nasional sebagai mata pelajaran pokok di sekolah. Ini untuk membangkitkan kembali rasa cinta kepada islam. Selain itu ia juga memberikan saran agar berintegrasi dengan Lembaga-lembaga keislaman dalam hal penyelenggaraan Pendidikan yang berbasis islam.

            Dari pemikiran social dan Pendidikan, kita beralih ke pemikiran Politik Hasan Al-Banna dalam merespon sekularisme. Hasan Al-Banna melihat bahwa politik bukan sekadar urusan pemerintah saja, akan tetapi agama juga harus hadir di dalamnya. Kemunduran umat Islam secara politis yang ditandai dengan runtuhnya Turki Utsmani serta banyaknya negara Islam yang dijajah membuat respon dari Hasan Al-Banna. Selanjutnya juga Perang dunia pada masa itu membuat Umat Islam semakin mundur secara Politis. Maka dari itu tokoh-tokoh pembaharu di dalam Islam bermunculan guna mengembalikan kembali kejayaan Islam.

            Konsepsi Syumuliyatul Islam juga berlaku dalam ranah politik. Hasan Al-Banna menganggap bahwa Al-Islam: Din wa Daulah (Islam adalah Agama dan Negara). Bahkan dengan tegas Hasan Al-Banna juga mengatakan bahwa Tidak sempurna Islam seseorang kecuali jika ia adalah seorang politikus (Al-Banna, Majmu‟atu Rasa‟il, 2016). Pengasan tersebut membuktikan bahwa Hasan Al-Banna tidak main-main di dalam bidang politik. Penegasan tersebut pula menjadi wujud Islam yang utuh. Bahwa jika seseorang Muslim tidak berpolitik, maka tidak sempurnalah Islamnya. Termasuk didalam aspek lainnya. Jika seseorang tersebut Islam, maka konsekuensinya adalah harus mengurusi segala urusan umat dalam segala aspek kehidupan. 

            Ini juga merupakan respon Hasan Al-Banna terhadap kondisi politik yang ada di Mesir. Dimana kondisi saat itu juga sudah mulai hilang peran agama dalam bidang politik. Ini ditandai dengan munculnya partai-partai secular-nasionalis. Padahal saat itu, islam masih menjadi agama resmi negara dan belum berubah. Hasan Al-Banna melihat ini sebagai kejanggalan. Maka dari itu ia merumuskan beberapa hal seperti mengembalikan proses ijtihad dalam pengambilan keputusan, kemudian pembentukan Undang Undang Dasar sesuai syariat islam, serta secara langsung ia terjun ke dalam politik praktis.

            Kemudian konsepsi negara Islam juga menjadi konsen dari politik islam saat ini. Bagaimana bentuk negara islam yang sesungguhnya? Apa seperti khilafah? Khilafah yang mana? Dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini banyak muncul dan ditanyakan kepada para aktivis islam. Para tokoh masih berdebat soal konsep negara Islam.

            Dalam hal ini Hasan Al-Banna juga memiliki bentuk negara islam sendiri namun tidak secara eksplisit. Kita tidak akan menemui bentuk negara Islam dalam karya-karya Hasan Al-Banna. Karena memang ia tidak menuliskan secara detail bagaimana negara islam tersebut. Hanya memberikan saran-saran saja kepada pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Yang jelas, Hasan Al-Banna ingin membangun negara Islam dengan legitimasi yaitu berupa konstitusi (Moussalli, 1993).

            Penerapan syariat Islam dalam sebuah negara merupakan syarat bagi berdirinya islam di negara tersebut menurut Hasan Al-Banna. Ia tidak mensyaratkan bentuk negara dalam pemikirannya. Hanya saja ia memberikan sedikit kisi-kisi terhadap bentuk negara yang ia idam-idamkan. Hasan Al-Banna banyak mengkritik system parlementer kala itu dengan banyak partai. Ia menganggap tidak bisa Bersatu bila banyak partai. Maka dari itu ia menyarankan system parlementer dengan partai tunggal.

Kesimpulan

            Syumuliyatul Islam adalah gagasan Hasan Al-Banna yang merupakan antithesis dari Sekularisme. Bagi Hasan Al-Banna, Islam adalah sebuah system yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Tidak ada satu ranah pun yang tidak diatur dalam Islam. Ini menjadi landasan utama Hasan Al-Banna dalam bergerak.

            Gagasan Hasan Al-Banna ini merupakan respons atas keadaan yang terjadi di Mesir kala itu. Peran agama di ranah public secara perlahan menghilang. Ulama yang tadinya memegang peranan penting, digeser dengan kaum intelektual. Begitu juga dengan syariat islam yang mulai diganti dengan nilai-nilai secular dan liberal. Inilah yang menyebabkan Hasan AL-Banna mengeluarkan gagasan Syumuliyatul Islam tersebut. 


 

Daftar Pustaka

al-Anani, K. (2013). The Power of the Jama‟A : The Role of Hasan Al-Banna in Constructing the Muslim Brotherhood‟s Collective Identity. Sociology of Islam, 45.

Al-Banna, H. (1999). Memoar Hasan Al-Banna. Solo: Era Intermedia.

Al-Banna, H. (2016). Majmu‟atu Rasa‟il. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Haque, M. A. (2007). 100 Pahlawan Muslim Yang Mengubah Dunia. Yogyakarta: Diglossia.

Ishaq, M. M. (2012). Fiqh Politik Hasan Al Banna. Jakarta: Robbani Press.

Jamaluddin. (2013). Sekularisme : Ajaran dan Pengaruhnya Dalam Dunia Pendidikan. Jurnal Mudarrisuna, 311.

Ladipus, I. M. (2002). A History Of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge University Press.

Mahmud, A. A. (2016). Perangkat Perangkat Tarbiyah Ikhwanul Muslimin. Solo: Era Adicitra Intermedia.

Mitchell, R. P. (1993). The Society Of The Muslim Brothers. New York: Oxford University Press.

Mohammad, H. (2006). Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani.

Moussalli, A. S. (1993). Hasan Al-Banna‟s Islamist Discourse on Constitutional Rule and Islamic State. Journal Of Islamic Studies, 162.

Muhammad Iqbal, A. H. (2010). Pemikiran Politik Islam : Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Munson, Z. (2001). Islamic Mobilization : Social Movement Theory and the Egyptian Muslim Brotherhood. The Sociological Quarterly, 491.

Mursi, M. S. (2007). Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. (A. F. Khoirul Amru, Trans.) Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Nu’man, F. (2004). Al-Ikhwan Al-Muslimun ‘Anugerah Allah Yang Terzalimi. Depok: Pustaka Nauka.

Rosen, E. (2012). The Muslim Brotherhood’s Concept Of Education. Current Trends In Islamist Ideology, 119.

Sayed Khatab, G. D. (2007). Democracy In Islam. New York: Routledge.

 

 

Selasa, 28 Juli 2020

Krisis: Momentum untuk Belajar

                Seluruh dunia tengah dihebohkan dengan adanya pandemic corona. Saya rasa tidak ada satu negara pun yang tidak waspada dengan adanya pandemic ini. Sejak awal tahun, seluruh dunia disibukkan menghadapi virus Covid-19 ini. Semua rencana yang sudah disusun pada awal tahun harus berubah menyesuaikan dengan keadaan saat ini.

                Tentu kita mengingat bagaimana optimism dunia menghadapi 2020 di awal tahun ini. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, headline surat kabar (baik offline maupun online) dihebohkan dengan kabar ekonomi di tahun tersebut. Banyak optimisme serta harapan di awal tahun. Namun harapan tersebut tidak semua dapat terealisasi. Pandemi Covid-19 memaksa kita untuk menambah focus yaitu isu Kesehatan.

                Dengan kondisi demikian, maka kita masuk pada kondisi krisis yang saat ini sedang melanda dunia. Baru-baru ini kita mendengar 2 negara maju yang mengalami resisi.  Singapura dan Kore Selatan, 2 negara yang saat ini sedang mengalami resesi. Tentu ini bukan kabar baik bagi Indonesia. Tapi kita berharap, ini tidak terjadi juga di Indonesia.

                Banyak orang menyebut fase ini sebagai fase “krisis”. Fase ini tentu bukan fase mudah untuk dilewati, tetapi optimism harus tetap dibangun bahkan Ketika dalam fase seperti ini. Krisis ini banyak dimaknai orang sebagai momen terpuruk. Ada juga yang menganggap ini sebagai challenge bagi dirinya. Tapi saya lebih memandang ini sebagai sebuah momentum untuk belajar. Mengapa demikian? Berikut penjelasannya~

                Pandemic ini bukan merupakan pandemic yang pertama kali terjadi di dunia. Tentu kita mengetahui sudah ada pandemic influenza di awal abad ke 20 atau yang lebih sering disebut dengan Flu Spanyol. Jadi, secara historis dunia sudah pernah mengalami hal ini pada masa lampau. Tentu kita tidak akan membandingkan kedua masa tersebut karena berbeda konteksnya. Tetapi yang harus dimaknai dari kedua tragedy pandemic itu ialah bahwa dunia belajar cara menanggulangi pandemic tersebut.

                Lalu mengapa sekarang pandemic ini terus meluas? Apa kita tidak belajar dari pandemic sebelumnya? Ini yang sering ditanyakan serta didiskusikan banyak orang. Komentar saya adalah, ini beda konteksnya sehingga tidak apple to apple untuk membandingkannya. Bisa jadi memang ada sisi dimana kita tidak belajar dari pandemic yang lalu, atau bisa jadi justru ini hasil terbaik kita belajar dari pandemic yang lalu.        

                Kembali lagi ke makna krisis, sebagaimana yang sudah saya jelaskan sebelumnya bagi saya krisis adalah momentum belajar. Fokus utama Ketika menghadapi krisis tentu saja keluar dari krisis itu. Akan tetapi, apa yang akan kita perbuat setelah krisis ini selesai? Apa tidak ada pelajaran yang tidak bisa diambil? Ini poin pentingnya!

                Ibarat pepatah sambal menyelam, buang air. Maka Ketika krisis, kita tetap focus keluar dari krisis ini sambil belajar. Tidak hanya sekadar menonton kebijakan dari pemerintah saja, tetapi sebagai seorang individu kita juga harus belajar. Banyak hal tentunya yang bisa dipelajari Ketika krisis ini. Tapi yang terpenting ialah mau belajar!

                Tentu saja banyak waktu luang yang bisa kita pakai untuk belajar. Karena mungkin saja beberapa dari kita tidak mau keluar rumah untuk menghindari penyebaran virus. Inilah waktu yang tepat untuk belajar! Lahap semua buku-buku yang ada, baca pengetahuan umum, baca kondisi, update berita dan lain sebagainya. Ini bermanfaat untuk bekal kita saat krisis sudah selesai!

                Saat krisis sudah selesai, maka kita dapat terbang cepat dibandingkan mereka yang rebahan saja Ketika krisis. Ada nilai lebih yang didapatkan Ketika belajar! Maka mindset krisis adalah momentum belajar itu adalah mindset yang tepat bagi para individu yang terkena dampak dari virus ini. Selama hidup kita ini belajar sejatinya. Maka Ketika krisis, belajar kita harus lebih keras lagi bukan?

                Okelah kalo beberapa dari pembaca malas baca buku, atau belajar secara rutin. Tapi pastikan waktu Anda tidak dibuang sia-sia! Masih banyak peluang di saat krisis ini!

#yukbelajar #hidupuntukbelajar #belajar #maribelajar   


Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ): Antara Adaptasi dan Kesenjangan Sosial

Kita sudah memasuki di akhir Juli dari tahun 2020. Tidak terasa, begitu cepat setengah tahun kita lalui. Cukup banyak yang terjadi di dunia. Semua dipaksa berubah dan beradaptasi dengan kehidupan baru. Tentu ini bukan akhir, tapi awal dari segalanya. Pandemic virus Covid-19 membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan dunia.

Dunia begitu cepat berubah dengan adanya pandemic ini. Dari yang tadinya santai-santai saja menanggapi virus ini, hingga pada ketakutan yang sangat luar biasa di masyarakat bahkan sampai menjadi santai lagi menanggapi virus ini.  Ini pola yang terjadi di Indonesia, PSBB sudah berulang kali diperpanjang. Namun, hasilnya tetap sama yaitu angka pasien positif Covid-19 tetap bertambah.

Semua dipaksa berubah mulai dari kehidupan pribadi hingga kehidupan berbangsa dan bernegara semua berubah. Kapan ini berakhir? Belum ada yang bisa memastikan! Tapi kita optimis ini akan segera berlalu dan dunia bisa Kembali tertawa.

Nah, basa basinya sudah kita langsung masuk ke inti pembahasannya. Tema yang saya ambil hari ini adalah Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ pada siswa sekolah dasar hingga sekolah menengah. Loh? Emang kenapa? Ada masalah apa? Perasaan biasa aja deh!

Perasaan sih emang biasa aja, karena emang kita tidak mengetahui ada apa dibalik PJJ ini. Emang ada apa? Begini penjelasannya… asik~

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dunia dipaksa berubah dengan adanya pandemic covid 19 ini termasuk dunia Pendidikan. Biasanya siswa bangun pagi, berangkat ke sekolah ketemu temen belajar di kelas kini berubah menjadi pembelajaran jarak jauh. Iya jarak jauh, bukan hubungan ya tapi belajarnya.

Loh? Bukanya positifi ya? Kan bisa memanfaatkan teknologi yang ada.

Tentu ada positifnya, karena siswa bisa melek teknologi dengan adanya PJJ ini. Masalahnya bukan disitu, tetapi di akses terhadap teknologi itu. Apa sudah semua sekolah serta daerah tersentuh teknologi? Apa semua siswa memiliki smartphone untuk belajar? Apa semua siswa punya kuota untuk belajar? Nah loh pusing kan haha.

Jawabannya sederhana, tidak semua punya itu! Pake tanda seru biar dikata ngegas haha. Tapi serius deh, ga semua siswa punya itu. Sering-sering baca berita, bagaimana orang-orang pelosok yang kesulitan mendapatkan sinyal atau orang tua yang tidak memiliki uang untuk membeli smartphone. Itu aslinya PJJ kita saat ini!

Mungkin kita melihat di Jakarta jarang terjadi demikian. Ya karena ibukota, anggapan orang bisa jadi ibukota ini sudah siap untuk PJJ. Padahal ga siap-siap amat. Toh coba diukur saja efektifitas pembalajaran jarak jauh ini, lihat sejauh mana dampaknya bagi siswa hehe.

Back to teknologi tadi, miris rasanya bila melihat berita terkait dengan PJJ ini. Ada yang tidak punya kuota, ada yang tidak punya smartphone dan lain sebagainya. Meskipun tujuannya baik, akan tetapi pada pelaksanaannya ada yang harus dievaluasi. Kesenjangan social atau kesenjangan digital ini harus segera dibenahi. Isu ini baru muncul setelah PJJ diterapkan. Sebelumnya? Tidak banyak yang focus ke arah sini tentunya.

Pemerintah juga harus bertanggungjawab terhadap akses dari masing-masing siswa dalam PJJ ini. Tidak boleh lepas tangan begitu saja. Ini adalah dasar dari penerapan teknologi dalam pembelajaran jarak jauh. Tanpa adanya kesetaraan social serta kesetaraan digital, maka PJJ tidak akan efektif! Tentunya ini merupakan isu kompleks yang harus segera dibenahi. Sekali lagi saya tegaskan ini adalah isu kompleks, bukan isu sederhana yang bisa diselesaikan seperti membalikkan telapak tangan. Ada isu ekonomi juga disana, terlebih di dalam masa pandemic ini dan keadaan ekonomi yang tidak menentu, maka ini menjadi lebih parah lagi.

Sebuah Solusi

Sudah Panjang lebar bahasan di atas, kita langsung masuk aja ke solusinya. Ini solusi dari saya secara pribadi yaa. Solusi ini bisa saja diterima, atau bahkan ditolak oleh para pembaca. Mari kita berdiskusi soal ini.

Sebelum masuk ke kebijakan yang tepat, tentunya pemerinta mempunyai kajian ilmiah yang lengkap. Begitupun dengan ini, pemetaan social atas kepemilikan smartphone bahkan kuota itu menjadi penting terutama di beberapa wilayah dimana banyak siswa yang belum memiliki smartphone. Bayangkan, bila kita punya database pemetaan social, maka kita bisa langsung bisa mencari solusi atas permasalahan yang ada. Asik bukan?

Nah, kalo udah punya pemetaan social yang lengkap maka kebijakan yang diambil juga akan tepat. Memang saat ini kebijakan dana BOS bisa dipakai membeli kuota sudah ada dan ini harus dimaksimalkan. Lalu bagaimana bagi yang tidak punya smartphone? Apa harus ke sekolah sendirian? Seperti yang viral belakangan ini. Bila pemetaan social bisa se-detail itu, maka tidak perlu demikian.

Tentunya kita bisa mencari solusi atas masalah ini. Si A bisa saja dipinjamkan oleh sekolah atau Lembaga non profit atas masalah yang ada. Ini manfaatnya dari pemetaan social. Orang lain yang mau membantu juga bisa mengetahui dengan detail lokasi, serta kebutuhannya apa. Sehingga, dalam pelaksanaannya, antar elemen masyarakat saling mendukung. Ini sangat baik.

Demikian tulisan ini saya buat, semoga kedepannya bisa lebih baik lagi. Tulisan ini merupakan opini ya teman-teman. Bisa diterima bisa juga ditolak, tapi saya buka ruang diskusi bagi teman-teman bila memang ingin berdiskusi. Jangan lupa kopinya yaa gaess…


Minggu, 29 Maret 2020

Sains dan Agama


Sains dan Agama
Oleh : Aulia Daie Nichen
Tulisan ini merupakan opini saya atas apa yang saya lihat di pagi hari yang hening.  Saat saya asik meminum susu kotak kecil rasa coklat sambil membuka laman twitter, saya menemukan sebuah tweet yang mengusik kesalehan saya. Bukan berarti saya sangat saleh, tetapi sedikit sisi saleh saya terusik akan tweet tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mengkritik cara berpikir dari tweet tersebut.
            Tak jauh dari judul tulisan ini, tweet yang saya singgung di awal berkaitan dengan sains dan agama. Ini bukan bahasan yang baru tentunya, bahasan ini sudah ada sejak dahulu. Tentu saja kita mengingat cerita yang popular tentang Galileo Galilei dihukum otoritas agama atas pemikirannya tentang Matahari menjadi pusat dari alam semesta dimana pemikiran ini mendukung pemikiran dari Nicolaus Copernicus. Cerita ini bukanlah cerita awal pertentangan antara sains dan agama di barat, masih banyak pemikiran yang mengkritik otoritas agama pada saat itu sehingga muncullah sekularisme.
            Kembali kepada tweet tersebut yang berkisar antara sains dan agama, di dalam tweet tersebut terdapat kata “Science heals, religion kills”. Tentu saja tweet ini agak unik dari tweet-tweet yang lain karena belakangan tak banyak yang menulis tweet tentang ini (atau mungkin saya yang tidak melihat ya? Hehe). Kalimat tersebut sebenarnya kalimat general yang tidak bisa ditafsirkan atas sebuah peristiwa tertentu, tapi diperjelas dengan gambar yang mewakili ‘science’ dan ‘religion’. Berikut gambarnya:


Sumber : Twitter.com
Gambar di atas merupakan hasil screenshot saya atas tweet tersebut. Tentu saja tweet tersebut sudah saya respon dengan re-tweet dengan komentar. Sebagaimana sudah saya singgung di atas, kalimat dalam tweet tersebut sangat general akan tetapi ia perjelas dengan gambar. Di dalam gambar tersebut terlihat seorang dokter atau perawat yang sedang menyemprot virus dan gambar orang dengan symbol agama masing-masing yang mengarahkan simbolnya kepada gambar virus di atasnya. Serta terdapat perbedaan ukuran virus antara yang ada di atas kepala dokter dengan pemuka agama.
Tak perlu jauh-jauh menafsirkan gambar di atas sebenarnya, cukup mengartikan kalimat di dalam tweet tersebut dan melihat gambar yang ada pasti sudah paham maksudnya. Tweet ini diposting pada tanggal 28 Maret dan saya baru melihatnya di tanggal 29 Maret. Sebuah tweet tidak bisa dimaknai sebagai sebuah tweet belaka bagi saya. Tweet tersebut mewakili pemikiran dari pemilik akunnya. Tapi saya tidak akan jauh-jauh menelisik akar pemikiran dari pemilik akun tersebut, bagi saya merespon tweet tersebut juga sudah cukup.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini sedang ada wabah Pandemik di seluruh dunia yaitu Covid-19 atau lebih popular dikenal sebagai virus corona. Saya rasa tidak perlu dijelaskan lagi ya wabah ini. Yang saya lihat dari tweet tersebut tentunya adalah merespon wabah pandemic ini. Dengan gambar virus di atas gambar dokter serta pemuka agama cukup untuk menarik kesimpulan bahwa gambar ini konteksnya adalah wabah corona.
 Lalu apa masalahnya tweet tersebut? Bagi saya bermasalah dari segi cara berpikir yang ada di tweet tersebut. Tentu saja ini adalah subjektivitas saya belaka, pembaca bisa saja membantah tulisan ini hehe. Menurut saya, ada cara berpikir yang salah di dalam tweet tersebut. Pertama, tweet tersebut sangat tendensius menyerang agama. Kedua, tweet tersebut terlalu general. Ketiga, tweet tersebut tidak mencerminkan fakta yang ada di masyarakat.
Saya menilai tweet tersebut sangat tendensius menyerang agama. Entah yang nge-tweet itu ateis atau sekular atau memang sangat cinta ilmu pengatahuan. Tapi bagi saya itu adalah tuduhan yang sangat menyudutkan agama. “Sains menyembuhkan, agama membunuh”, satu kalimat saja tidak bisa membuktikan apapun tentunya. Butuh penjelasan yang sangat detail akan hal tersebut. Tweet itu seolah ingin mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah penyembuh dari wabah dan agama membunuh anda dari wabah. Yang membunuh adalah wabah corona, terus apa hubungannya dengan agama? Mengapa dia menyudutkan agama?
Kesalahan kedua adalah, tweet ini terlalu men-generalisir dari keadaan yang ada. Mungkin maksud tweet tersebut (saya masih berprasangka baik) ingin mengatakan bahwa orang-orang (segelintir) yang tetap berkumpul atas nama agama dan menyepelekan fakta ilmiah tentang wabah corona ialah yang membunuh. Akan tetapi lagi-lagi tweet tersebut tidak selesai dalam membahas agama sebagai pembunuh. Jika apa yang saya katakan sebelumnya bahwa ada segelintir orang yang tetap melanggar larangan berkumpul atas nama agama ialah sang pembunuh, maka fakta ini tidak bisa dibuat sebagai kesimpulan. Mengapa? Karena menurut saya, ini tidak lengkap secara metodologis. Tidak ada data apapun yang disertakan atau minimal kasus apa yang membuat tweet itu muncul.
Kesalahan ketiga menurut saya adalah bahwa tweet tersebut tidak mencerminkan fakta yang ada. Faktanya adalah yang membunuh dalam konteks corona ialah virus corona (tentu saja) serta dari manusia itu sendiri. Saya tidak melihat peran agama dalam kasus penyebaran serta meninggalnya korban corona ini. Justru sebaliknya, saya melihat itikad baik dari agama-agama yang ada untuk mencegah penyebaran virus yang ada. Sudah ada toh Fatwa MUI yang mengatakan bahwa dapat mengganti shalat jumat berjamaah dengan shalat zuhur di rumah serta mewaspadai corona. Juga agama lainnya yang saya lihat sudah melakukan himbauan untuk ibadah online serta waspada terhadap virus corona tersebut. Bahkan yang saya lihat komunitas-komunitas agama saling gotong royong untuk membantu membasmi virus ini.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tweet tersebut bagi saya terdapat beberapa kesalahan cara berpikir. Cara berpikir yang salah menurut saya adalah terlalu tendensius terhadap agama, terlalu men-generalisir serta mengabaikan fakta yang ada. Secara factual, yang ada justru sebaliknya dari tweet tersebut. Sains dan agama tidak pernah bertentangan dalam memandang wabah ini. Sains dengan segala teknologinya membantu menangani virus ini secara langsung, agama mengambil peran lain dalam hal dukungan moril, himbauan kepada penganut agama serta dukungan donasi dari komunitas agama.  Jika ada orang yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan anti sains dan membahayakan masyarakat atas wabah ini, maka tentu saja yang salah orangnya bukan agamanya.
“Jika agama adalah pembunuh, niscaya tak akan ada lagi yang mempercayai sang pembunuh”
 Aulia Daie Nichen Sang Mahestro Rebahan
Tangerang, 29 Maret 2020
#dirumahaja
Mari berdiskusi!