Oleh : Aulia Daie Nichen
Pertarungan Ideologi Pasca
Kemerdekaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi
titik tolak kebangkitan bangsa Indonesia. Baik dalam hal politik, ekonomi,
sosial termasuk juga permasalahan pendidikan. Pendidikan menjadi unsur yang
penting dalam membangun peradaban bangsa yang saat itu masih menjadi bayi yang
baru lahir dari Rahim kemerdekaan. Sejak saat itu, pemimpin bangsa kita sibuk
merumuskan Negara kedepannya termasuk di dalamnya sistem pendidikan.
Bangsa Indonesia tumbuh dan
berkembang melalui perdebatan ideology yang sangat ketat dan panjang dalam
segala hal. Baik dalam merumuskan bentuk negara, dasar negara, termasuk di
dalamnya sistem pendidikan. Pada rumusan dasar Negara, kita ketahui bahwa
beberapa pemikir Nasionalis, maupun agamis mengeluarkan ide terbaiknya untuk
bangsa. Termasuk dicetuskannya Piagam
Jakarta yang kemudian berubah menjadi Pancasila yang kita kenal saat ini.
Pertarungan ideology sistem
pendidikan Nasional kita dahulu juga tidak lepas dari pertarungan sebagaimana
pertarungan di ranah lain. Dalam pertarungan itu, Oshikawa dapat melihat bahwa
pembentukan sistem pendidikan nasional yang akan dibentuk memiliki corak
tersendiri yang dibagi menjadi tiga kelompok,
yakni nasionalis-sekuler, humanis-sosialis-sekuler, dan
humanis-relegius.[1]
Atau bisa kita sebut ada tiga kubu yaitu kubu nasionalis, komunis dan islamis.
Ketiga pihak ini yang kemudian bertarung di dalam menentukan ideology dari
sistem pendidikan Nasional kita. Secara ringkas lagi, dapat disingkat menjadi
dua pihak belaka, yaitu pihak secular dan pihak agamis
Pertarungan Ideologi yang terjadi
saat itu melahirkan Jalan Tengah dari
ide-ide tersebut. Jalan tengah pada saat itu ialah Sistem Ganda. Sistem ganda yang dimaksud ialah sistem pendidikan
umum dengan sistem pendidikan keagamaan yang kita kenal hingga hari ini.
“Akhirnya, kesulitan untuk
sebagian dan sementara waktu terselesaikan dengan penerapan sistem ganda. Ini
berarti bahwa model pendidikan sekuler yang dianut oleh para pemimpin
nasionalis sekuler didampingi oleh model pendidikan agamawi yang dituntut oleh
para pemimpin muslim. Kelak, model yang pertama ini dikenal sebagai pendidikan
“umum” yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan yang
kedua dikenal sebagai pendidikan “agamawi” dikelola Depertemen Keagamaan”[2]
Dari
kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertarungan ideology dalam menentukan
sistem pendidikan nasional berakhir kepada sistem ganda. Sistem dimana konsep
sekuler atau pendidikan umum dan konsep agamis atau pendidikan berbasis
keagamaan diterapkan.
Sistem
Pendidikan Orde Lama
Orde
Lama merupakan rezim yang kemudian merintis Bangsa Indonesia sedari awal.
Kehadiran rezim ini merupakan sebuah awal bagi pendidikan Indonesia hingga
kini. Kebijakan yang kemudian di keluarkan pada era itu sebetulnya tidak lepas
dari konteks sosial politik, dimana pada saat itu masih menjadi negara yang
baru merdeka dan sedang merangkak untuk bisa berjalan bahkan berlari
Pada awal kemunculannya, sistem
pendidikan mencoba mencari jalan tengah dari perdebatan Ideologis yang kemudian
menjadi sebuah fenomena yang sangat berkesan bagi bangsa ini. Kemudian, Mr
Soewandi yang pada saat itu menjabat sebagai menteri PPK (Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan) membuat panitia penyelidik pengajaran yang dipimpin oleh Ki
Hajar Dewantara. Hasilnya adalah bahwa pendidikan di Indonesia lebih ditujukan
pada pembentukan manusia sebagai pribadi untuk hidup sebagai manusia yang
bertaqwa, hidup dengan hormani di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa,
manusia, alam, serta mampu mengembangkan diri, masyarakat, bangsa, dan umat
manusia.[3]
Episode selanjutnya dari sistem
pendidikan Indonesia dirumuskan pada tahun 1950. Pada UU tersebut, dikatakan bahwa
tujuan dari pendidikan ”ialah membentuk manusia susila yang tjakap dan warga
negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan
masjarakat dan tanah air”.[4]
Tujuan ini jelas menggambarkan kualitas manusia Indonesia yang diharapkan yaitu
manusia yang susila, cakap, demokratis, dan peduli pada kesejahteraan bangsa.
Tujuan ini jelas menggambarkan keinginan yang kuat agar pendidikan
mengembangkan keempat kualitas sebagai manusia Indonesia baru yang diharapkan.
Yang unik adalah, bahwa tujan pendidikan beriman dan bertaqwa pada sebelumnya
telah dihapus.
Selanjutnya, pada episode terakhir
pendidikan di Era Orde Lama memiliki beberapa tujuan yang tertuang pada Panca
Wardhana yang tujuannya ialah membentuk kepribadian manusia yang cinta tanah air,
kesehatan jasmani, cerdas dan lain sebagainya. Secara konkret, apa yang
kemudian dirumuskan sebagai tujuan Pendidikan Nasional pada saat itu
direalisasikan melalui pendidikan Ideologi yang diberikan Negara kepada Peserta
didik.
“Manusia
terdidik adalah manusia yang memiliki ideology negara. Mereka yang tidak setuju
dengan ideologi negara tidak memenuhi kriteria kelulusan dan bahkan dianggap
sebagai musuh bangsa. Kurikulum menjadi alat penanaman pendidikan ideologi yang
sangat ampuh dan bersifat indoktrinatif. Penanaman ideologi tidak hanya
dilakukan melalui kurikulum jalur sekolah atau jalur formal tetapi juga melalui
jalur pendidikan non formal.”[5]
Dari kutipan diatas disimpulkan
bahwa pada masa akhir Orde Lama telah terbentuk pola pendidikan yang kemudian
bertujuan membentuk manusia yang Pancasilais atau nasionalis. Kemudian pada
tataran konkretnya, ini direalisasikan pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan sebagaimana saat ini.
[1] Afriantoni, Implikasi Pertarungan Ideologi Terhadap Pendidikan Di Indonesia. Ta’dib,
Vol. Xvi, No. 01, Edisi Juni 2011.Hal 56
[2] Ibid. hal. 65
[3] S. Hamid Hasan, Perkembangan
Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950 – 2005), hlm.
6
[4] Ibid. hal 8
[5] S. Hamid Hasan, Op.cit hal.
15