Selasa, 28 Maret 2017

Pendidikan Indonesia Di Era Orde Lama



Oleh : Aulia Daie Nichen

Pertarungan Ideologi Pasca Kemerdekaan

            Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi titik tolak kebangkitan bangsa Indonesia. Baik dalam hal politik, ekonomi, sosial termasuk juga permasalahan pendidikan. Pendidikan menjadi unsur yang penting dalam membangun peradaban bangsa yang saat itu masih menjadi bayi yang baru lahir dari Rahim kemerdekaan. Sejak saat itu, pemimpin bangsa kita sibuk merumuskan Negara kedepannya termasuk di dalamnya sistem pendidikan.

            Bangsa Indonesia tumbuh dan berkembang melalui perdebatan ideology yang sangat ketat dan panjang dalam segala hal. Baik dalam merumuskan bentuk negara, dasar negara, termasuk di dalamnya sistem pendidikan. Pada rumusan dasar Negara, kita ketahui bahwa beberapa pemikir Nasionalis, maupun agamis mengeluarkan ide terbaiknya untuk bangsa. Termasuk dicetuskannya Piagam Jakarta yang kemudian berubah menjadi Pancasila yang kita kenal saat ini.

           Pertarungan ideology sistem pendidikan Nasional kita dahulu juga tidak lepas dari pertarungan sebagaimana pertarungan di ranah lain. Dalam pertarungan itu, Oshikawa dapat melihat bahwa pembentukan sistem pendidikan nasional yang akan dibentuk memiliki corak tersendiri yang dibagi menjadi tiga kelompok,  yakni nasionalis-sekuler, humanis-sosialis-sekuler, dan humanis-relegius.[1] Atau bisa kita sebut ada tiga kubu yaitu kubu nasionalis, komunis dan islamis. Ketiga pihak ini yang kemudian bertarung di dalam menentukan ideology dari sistem pendidikan Nasional kita. Secara ringkas lagi, dapat disingkat menjadi dua pihak belaka, yaitu pihak secular dan pihak agamis

            Pertarungan Ideologi yang terjadi saat itu melahirkan Jalan Tengah dari ide-ide tersebut. Jalan tengah pada saat itu ialah Sistem Ganda. Sistem ganda yang dimaksud ialah sistem pendidikan umum dengan sistem pendidikan keagamaan yang kita kenal hingga hari ini.

“Akhirnya, kesulitan untuk sebagian dan sementara waktu terselesaikan dengan penerapan sistem ganda. Ini berarti bahwa model pendidikan sekuler yang dianut oleh para pemimpin nasionalis sekuler didampingi oleh model pendidikan agamawi yang dituntut oleh para pemimpin muslim. Kelak, model yang pertama ini dikenal sebagai pendidikan “umum” yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan yang kedua dikenal sebagai pendidikan “agamawi” dikelola Depertemen Keagamaan”[2]
           
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertarungan ideology dalam menentukan sistem pendidikan nasional berakhir kepada sistem ganda. Sistem dimana konsep sekuler atau pendidikan umum dan konsep agamis atau pendidikan berbasis keagamaan diterapkan.

Sistem Pendidikan Orde Lama

            Orde Lama merupakan rezim yang kemudian merintis Bangsa Indonesia sedari awal. Kehadiran rezim ini merupakan sebuah awal bagi pendidikan Indonesia hingga kini. Kebijakan yang kemudian di keluarkan pada era itu sebetulnya tidak lepas dari konteks sosial politik, dimana pada saat itu masih menjadi negara yang baru merdeka dan sedang merangkak untuk bisa berjalan bahkan berlari

            Pada awal kemunculannya, sistem pendidikan mencoba mencari jalan tengah dari perdebatan Ideologis yang kemudian menjadi sebuah fenomena yang sangat berkesan bagi bangsa ini. Kemudian, Mr Soewandi yang pada saat itu menjabat sebagai menteri PPK (Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan) membuat panitia penyelidik pengajaran yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Hasilnya adalah bahwa pendidikan di Indonesia lebih ditujukan pada pembentukan manusia sebagai pribadi untuk hidup sebagai manusia yang bertaqwa, hidup dengan hormani di lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, manusia, alam, serta mampu mengembangkan diri, masyarakat, bangsa, dan umat manusia.[3]

            Episode selanjutnya dari sistem pendidikan Indonesia dirumuskan pada tahun 1950. Pada UU tersebut, dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan ”ialah membentuk manusia susila yang tjakap dan warga negara jang demokratis serta bertanggung djawab tentang kesedjahteraan masjarakat dan tanah air”.[4] Tujuan ini jelas menggambarkan kualitas manusia Indonesia yang diharapkan yaitu manusia yang susila, cakap, demokratis, dan peduli pada kesejahteraan bangsa. Tujuan ini jelas menggambarkan keinginan yang kuat agar pendidikan mengembangkan keempat kualitas sebagai manusia Indonesia baru yang diharapkan. Yang unik adalah, bahwa tujan pendidikan beriman dan bertaqwa pada sebelumnya telah dihapus.

            Selanjutnya, pada episode terakhir pendidikan di Era Orde Lama memiliki beberapa tujuan yang tertuang pada Panca Wardhana yang tujuannya ialah membentuk kepribadian manusia yang cinta tanah air, kesehatan jasmani, cerdas dan lain sebagainya. Secara konkret, apa yang kemudian dirumuskan sebagai tujuan Pendidikan Nasional pada saat itu direalisasikan melalui pendidikan Ideologi yang diberikan Negara kepada Peserta didik.

“Manusia terdidik adalah manusia yang memiliki ideology negara. Mereka yang tidak setuju dengan ideologi negara tidak memenuhi kriteria kelulusan dan bahkan dianggap sebagai musuh bangsa. Kurikulum menjadi alat penanaman pendidikan ideologi yang sangat ampuh dan bersifat indoktrinatif. Penanaman ideologi tidak hanya dilakukan melalui kurikulum jalur sekolah atau jalur formal tetapi juga melalui jalur pendidikan non formal.”[5]
           
            Dari kutipan diatas disimpulkan bahwa pada masa akhir Orde Lama telah terbentuk pola pendidikan yang kemudian bertujuan membentuk manusia yang Pancasilais atau nasionalis. Kemudian pada tataran konkretnya, ini direalisasikan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana saat ini.



[1] Afriantoni, Implikasi Pertarungan Ideologi Terhadap Pendidikan Di Indonesia. Ta’dib, Vol. Xvi, No. 01, Edisi Juni 2011.Hal 56
[2] Ibid. hal.  65
[3] S. Hamid Hasan, Perkembangan Kurikulum: Perkembangan Ideologis dan Teoritik Pedagogis (1950 – 2005), hlm. 6
[4] Ibid. hal 8
[5] S. Hamid Hasan, Op.cit hal. 15