Tempat, satu kata yang pasti kita sudah mengetahui artinya. Tempat yaitu yang dipakai untuk menaruh, meniyimpan, meletakkan, dll. Tentunya banyak bentuk, luas, dan jenis dari tempat ini. Tempat juga bisa menjadi sebuah sebutan untuk menyebutkan kata lainnya, seperti tempat parkir, tempat duduk, dll. Tapi ini bukan soal tempat.
Dalam satu waktu, bisa jadi ada lebih dari satu
‘sesuatu’ di dalam sebuah tempat. ‘sesuatu’ tersebut bisa saja saling kenal,
saling mempengaruhi ataupun saling-saling yang lainnya. Bisa jadi juga ‘sesuatu’
tersebut tidak ada hubungannya dengan ‘sesuatu’ yang lain di dalam tempat dan
waktu yang sama. Sekali lagi, ini bukan soal tempat.
Tempat bisa dilihat, bisa disentuh, bisa
dirasakan dan bisa diukur. Semua ‘sesuatu’ di dalam tempat bisa melihat,
menyentuh, merasakan dan mengukur. Tapi mengapa pada tempat yang sama, ada
perbedaan dari apa yang ‘sesuatu’ tersebut lihat, sentuh, rasa atau ukur? Padahal,
tempat sama bahkan mungkin di waktu yang sama. Tidak bosan saya katakan, ini
bukan soal tempat.
Jika bukan
soal tempat, lalu soal apa?
Persoalannya bukan di ‘tempat’, tapi pada apa
yang ‘sesuatu’ itu maknai atas tempat tersebut. Dalam memaknai tersebut, kita
bisa sebut sebagai ‘ruang’. Dua konsepsi yang tentu berbeda, tempat kita berbicara
fisik sedangkan ruang kita berbicara isi dan pemaknaan. Ini soal ruang.
‘sesuatu’ di dalam tempat memiliki pemaknaan
berbeda terhadap tempat tersebut. Di tempat yang sama, bahkan bisa hadir
pemaknaan yang sama dengan jumlah ‘sesuatu’ yang ada di dalamnya. Di sebuah
tempat yang sama, bahkan bisa lahir pemaknaan baru terhadap tempat tersebut. Pemaknaan
ini sangat dinamis, bahkan satu detik pun bisa berbeda dengan detik berikutnya
terkait dengan pemaknaannya. Lagi-lagi, bukan soal tempat.
Dari asumsi dasar ini, maka sebenarnya yang
penting ialah pemaknaan atas tempat tersebut atau ‘ruang’. Tempat bisa saja
luas, bagus, indah, tapi belum tentu sejalan dengan pemaknaan dari ‘sesuatu’
yang ada di tempat tersebut. Poinnya adalah bagaimana ‘sesuatu’ di dalam tempat
bisa memaknai tempat tersebut dengan ‘ruang’ yang cukup. Dan ini tentu soal
ruang.
Antar ‘sesuatu’ tidak bisa memaksakan ‘sesuatu’
yang lainnya memiliki makna yang sama. Makna ini tumbuh dan berkembang dari
pengalaman sang ‘sesuatu’ tersebut. Ia tidak bisa dipaksa, hanya bisa mungkin diatur
saja. Tapi itu pun tidak menjamin apa-apa. Pemaksaan terhadap pemaknaan tidak
ada gunanya sebetulnya. Pemaknaan ini natural, tidak bisa dipaksakan. Makna lahir
atas pengalaman, apa yang dilihat dan dirasakan. Lagi-lagi, ini soal ruang.
Tempat yang luas, belum tentu menjadi ruang
yang luas juga. Ruang tidak bisa diukur dari luas fisik saja. Lebih jauh lagi,
ruang menembus batas fisik yang dilihat oleh ‘sesuatu’ yang ada di dalamnya. Ya
tentu, ‘sesuatu’ yang penulis maksud adalah manusia sebagai subjek yang utuh. Bukan
sekadar objek, manusia hadir sebagai subjek yang memiliki hak menentukan apapun
yang ia mau, bahkan soal pemaknaan atas tempat.
Jakarta, 9 Desember 2023.
Tulisan ini dibuat di Taman Suropati dari jam
15.15 sampai dengan 15.45. Di bawah pohon yang sejuk, penulis merenung dan menggerakan
jemarinya.
Terima kasih, selamat membaca.